TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil terus mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menunda rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pasal-pasal dalam draf RKUHP tersebut dinilai masih berwatak kolonial, bertentangan dengan niat merevisi undang-undang peninggalan Belanda itu. "Masih banyak pasal-pasal yang rasa kolonial," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati kepada Tempo, Ahad, 15 September 2019.
Asfinawati membeberkan, secara umum ada beberapa gejala watak kolonial dari rancangan ini. Pertama, RUU KUHP masih memuat ancaman kriminalisasi kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan.
Salah satu pasal turunan dari ancaman kebebasan sipil ini adalah penghinaan terhadap presiden/wakil presiden. DPR dan pemerintah keukeuh memasukkan pasal ini ke dalam RUU KUHP sebagai pasal delik aduan mutlak.
Anggota Panja RKUHP Nasir Djamil sebelumnya mengatakan, ketentuan ini dimasukkan demi menjaga kehormatan presiden atau wakil presiden. RUU KUHP juga mengatur pidana penghinaan kepada kepala negara atau wakil kepala negara sahabat. "Masa untuk negara sahabat diatur, tapi untuk kepala negara sendiri tidak," kata Nasir.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu pun mempertanyakan alasan yang dikemukakan Nasir tersebut. Menurut dia, lebih baik kedua pasal itu sama-sama dihapus. "Kenapa enggak dihapus dua-duanya, kan tujuannya dekolonialisasi," kata Erasmus kepada Tempo, Ahad, 15 September 2019.
Selanjutnya, Asfinawati menyebut watak kolonial berikutnya adalah perluasan pasal zina. RUU KUHP mengatur bahwa orang yang tinggal serumah di luar nikah atau kumpul kebo akan dipidana atas laporan orang tua, suami, atau istri. Menurut Asfinawati, pasal ini mengatur kejahatan yang bisa saja sebenarnya tak ada korbannya.
Pasal kolonial ketiga adalah pelemahan tindak pidana khusus yang diadopsi menjadi core crime dalam RKUHP ini. Ada beberapa tindak pidana khusus yang masuk di RUU KUHP, di antaranya tindak pidana korupsi, tindak pidana pelanggaran HAM, dan terorisme.
Pasal pidana khusus ini juga disorot peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkun. Dia mengatakan dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP ini membingungkan dan malah akan menimbulkan kekacauan hukum. Sebab, UU Tipikor sebenarnya sudah mengatur secara rinci tentang pidana korupsi.
"Jadi ini bingung, yang mana yang akan dipakai. Revisi itu harusnya memberikan batasan yang semakin jelas, mempertegas, nah ini keberadaannya justru akan mengaburkan yang sekarang," kata Tama.
Pasal kolonial berikutnya adalah adanya pasal-pasal yang menyimpangi asas legalitas yang bersifat universal. Menurut Asfinawati, asas legalitas menyatakan bahwa tak ada pidana kalau hukumnya tidak ada. Keberadaan hukum yang dimaksud ini harus secara tertulis.
Sedangkan, RUU KUHP berencana mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat adat. Asfinawati menilai, hal ini berpotensi membuat orang mudah dipidana karena dianggap melanggar hukum adat yang tidak diketahuinya.
Meskipun banyak kritikan, DPR ngotot akan mengesahkan RKUHP di September ini. Menurut Asfinawati, ngototnya DPR itu semakin membuktikan bahwa para wakil rakyat tak mendengar aspirasi masyarakat. "Ini menjadi bukti yang kesekian jika anggota DPR dan artinya parpol tidak mendengar suara rakyat," kata Asfinawati.