Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Koalisi Paparkan Pasal Rasa Kolonial di RKUHP

image-gnews
Suasana aksi tolak RUU KUHP di Silang Monas, Jakarta, 10 Maret 2018. Aksi ini diikuti oleh sejumlah mahasiswa. TEMPO/Alfan Hilmi
Suasana aksi tolak RUU KUHP di Silang Monas, Jakarta, 10 Maret 2018. Aksi ini diikuti oleh sejumlah mahasiswa. TEMPO/Alfan Hilmi
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil terus mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menunda rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Pasal-pasal dalam draf RKUHP tersebut dinilai masih berwatak kolonial, bertentangan dengan niat merevisi undang-undang peninggalan Belanda itu. "Masih banyak pasal-pasal yang rasa kolonial," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati kepada Tempo, Ahad, 15 September 2019.

Asfinawati membeberkan, secara umum ada beberapa gejala watak kolonial dari rancangan ini. Pertama, RUU KUHP masih memuat ancaman kriminalisasi kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan.

Salah satu pasal turunan dari ancaman kebebasan sipil ini adalah penghinaan terhadap presiden/wakil presiden. DPR dan pemerintah keukeuh memasukkan pasal ini ke dalam RUU KUHP sebagai pasal delik aduan mutlak.

Anggota Panja RKUHP Nasir Djamil sebelumnya mengatakan, ketentuan ini dimasukkan demi menjaga kehormatan presiden atau wakil presiden. RUU KUHP juga mengatur pidana penghinaan kepada kepala negara atau wakil kepala negara sahabat. "Masa untuk negara sahabat diatur, tapi untuk kepala negara sendiri tidak," kata Nasir.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu pun mempertanyakan alasan yang dikemukakan Nasir tersebut. Menurut dia, lebih baik kedua pasal itu sama-sama dihapus. "Kenapa enggak dihapus dua-duanya, kan tujuannya dekolonialisasi," kata Erasmus kepada Tempo, Ahad, 15 September 2019.

Selanjutnya, Asfinawati menyebut watak kolonial berikutnya adalah perluasan pasal zina. RUU KUHP mengatur bahwa orang yang tinggal serumah di luar nikah atau kumpul kebo akan dipidana atas laporan orang tua, suami, atau istri. Menurut Asfinawati, pasal ini mengatur kejahatan yang bisa saja sebenarnya tak ada korbannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasal kolonial ketiga adalah pelemahan tindak pidana khusus yang diadopsi menjadi core crime dalam RKUHP ini. Ada beberapa tindak pidana khusus yang masuk di RUU KUHP, di antaranya tindak pidana korupsi, tindak pidana pelanggaran HAM, dan terorisme.

Pasal pidana khusus ini juga disorot peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkun. Dia mengatakan dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP ini membingungkan dan malah akan menimbulkan kekacauan hukum. Sebab, UU Tipikor sebenarnya sudah mengatur secara rinci tentang pidana korupsi.

"Jadi ini bingung, yang mana yang akan dipakai. Revisi itu harusnya memberikan batasan yang semakin jelas, mempertegas, nah ini keberadaannya justru akan mengaburkan yang sekarang," kata Tama.

Pasal kolonial berikutnya adalah adanya pasal-pasal yang menyimpangi asas legalitas yang bersifat universal. Menurut Asfinawati, asas legalitas menyatakan bahwa tak ada pidana kalau hukumnya tidak ada. Keberadaan hukum yang dimaksud ini harus secara tertulis.

Sedangkan, RUU KUHP berencana mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat adat. Asfinawati menilai, hal ini berpotensi membuat orang mudah dipidana karena dianggap melanggar hukum adat yang tidak diketahuinya.

Meskipun banyak kritikan, DPR ngotot akan mengesahkan RKUHP di September ini. Menurut Asfinawati, ngototnya DPR itu semakin membuktikan bahwa para wakil rakyat tak mendengar aspirasi masyarakat. "Ini menjadi bukti yang kesekian jika anggota DPR dan artinya parpol tidak mendengar suara rakyat," kata Asfinawati.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Apa Sanksi Pidana bagi Anggota KPU yang Terlambat Mengumumkan Hasil Pemilu 2024?

13 hari lalu

Suasana rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat nasional Provinsi Bengkulu di Gedung KPU, Jakarta, Kamis 14 Maret 2024. KPU RI menargetkan rekapitulasi penghitungan perolehan suara tingkat nasional akan selesai sebelum 20 Maret 2024.  TEMPO/Subekti.
Apa Sanksi Pidana bagi Anggota KPU yang Terlambat Mengumumkan Hasil Pemilu 2024?

Bawaslu mengingatkan jika hasil Pemilu 2024 tak diumumkan atau terlambat dipublikasikan, anggota KPU akan diancam pidana. Apa pidananya?


78 Pelaku Pungli di Rutan KPK Hanya Disanksi Permintaan Maaf, Apa Alasan Dewas KPK?

29 hari lalu

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah mengeksekusi putusan etik Dewan Pengawas (Dewas) yang memberi sanksi pada 78 orang pegawainya. Mereka harus menjalani sanksi etik berat dengan permintaan maaf secara langsung dan terbuka pada Senin, 26 Februari 2024 di Gedung Juang KPK. Sumber: KPK
78 Pelaku Pungli di Rutan KPK Hanya Disanksi Permintaan Maaf, Apa Alasan Dewas KPK?

Pungli di Rutan KPK mendapat sorotan karena 78 pelaku hanya disanksi dengan permintaan maaf. Ahli hukum berpendapat harusan dipecat dan diadili pidana


Pemilu 2024: Tanggung Jawab Siapa Pembersihan APK di Masa Tenang?

45 hari lalu

Pekerja melipat baliho besar saat penertiban alat peraga kampanye (APK) di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu, 11 Februari 2024. KPU Kabupaten Tegal dan Bawaslu Kabupaten Tegal mulai melakukan peneritiban seluruh APK capres, cawapres dan caleg yang diperkirakan mencapai 750.000 APK berbagai ukuran pada hari pertama masa tenang. ANTARA/Oky Lukmansyah
Pemilu 2024: Tanggung Jawab Siapa Pembersihan APK di Masa Tenang?

Membersihkan Alat Peraga Kampanye (APK) di minggutenang, menurut aturan KPU jadi tanggung jawab siapa?


Ternyata Mengajak Golput Bisa Dijatuhi Sanksi Pidana, Begini Aturannya

48 hari lalu

Ilustrasi Golput. REUTERS
Ternyata Mengajak Golput Bisa Dijatuhi Sanksi Pidana, Begini Aturannya

Menjadi golput alias tak gunakan hak pilih dalam Pemilu merupakan hak politik warga negara Indonesia. Tapi, sanksi pidana bagi mereka mengajak golput.


Bolehkan Capres-Cawapres Mengundurkan Diri dan Apa Konsekuensinya?

49 hari lalu

Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto memberikan salam hormat kepada Capres nomor urut 2 Ganjar pranowo disaksikan Capres dan Cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar usai Debat Kelima Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu, 4 Februari 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bolehkan Capres-Cawapres Mengundurkan Diri dan Apa Konsekuensinya?

Gibran atau capres maupun cawapres lain yang telah ditetapkan sebagai pasangan calon tetap ternyata dilarang mengundurkan diri.


Perbandingan Konflik Agraria di Era Jokowi dan SBY, Mana yang Lebih Parah?

23 Januari 2024

Petani Ogan Ilir Farida, korban kekerasan aparat kepolisian menunjukkan bekas proyektil yang menembus lengan kanannya, saat memberikan keterangan kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (1/8). Walhi, korban dan keluarga korban mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus kekerasan aparat kepolisian dengan warga Ogan Ilir yang menewaskan 1 orang dan korban luka-luka terkait konflik agraria antara warga dan PTPN VII di Desa Cinta Manis, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. TEMPO/Imam Sukamto
Perbandingan Konflik Agraria di Era Jokowi dan SBY, Mana yang Lebih Parah?

Ada banyak konflik agraria di masa pemerintahan Jokowi dan SBY.


Presiden Israel Terancam Tuntutan Pidana Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Swiss

19 Januari 2024

Presiden Israel, Isaac Herzog. SAUL LOEB/Pool via REUTERS
Presiden Israel Terancam Tuntutan Pidana Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Swiss

Presiden Israel Isaac Herzog menjadi sasaran tuntutan pidana kejahatan terhadap kemanusiaan saat berkunjung ke Swiss


Dewas akan Sidangkan 93 Pegawai KPK, Alexander Marwata Soroti Unsur Pidananya

11 Januari 2024

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata menjalani sidang saat dihadirkan sebagai saksi pada sidang praperadilan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 14 Desember 2023. Firli mengajukan gugatan praperadilan untuk melawan status tersangka yang ditetapkan Polda Metro Jaya. Polda Metro Jaya menetapkan Firli menjadi tersangka di kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL). TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Dewas akan Sidangkan 93 Pegawai KPK, Alexander Marwata Soroti Unsur Pidananya

Sementara jika ditemui unsur pidana, ujar Alexander Marwata, maka KPK akan menindaklanjuti.


Bawaslu Sebut Ungkapan Goblok Prabowo Bisa Dijerat Pidana Pemilu

10 Januari 2024

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja memberikan keterangan pers di Media Center Bawaslu RI, Jakarta, Selasa, 19 Oktober 2023. Terkait temuan pelanggaran dana kampanye, Bawaslu akan berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu). TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Bawaslu Sebut Ungkapan Goblok Prabowo Bisa Dijerat Pidana Pemilu

Namun, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja tidak mau berspekulasi soal apakah Prabowo dapat dinyatakan bersalah dalam kejadian itu.


Polisi Periksa Ketua Lemtaki, Usut Dugaan Firli Bahuri Bawa Dokumen Rahasia KPK ke Sidang Praperadilan

3 Januari 2024

Polda Metro Jaya menetapkan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada 23 November 2023. Polda menyangka Firli memeras SYL agar kasus korupsi di Kementan yang tengah ditangani KPK bisa berhenti. TEMPO/Imam Sukamto
Polisi Periksa Ketua Lemtaki, Usut Dugaan Firli Bahuri Bawa Dokumen Rahasia KPK ke Sidang Praperadilan

Polda Metro Jaya mengusut dugaan Firli Bahuri telah membawa dokumen rahasia KPK ke sidang praperadilan. Ketua Lemtaki diperiksa hari ini.