Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin (kiri) menyerahkan laporan hasil uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK kepada Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah (kanan) didampingi Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan I Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 16 September 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta - Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK resmi disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-9 DPR siang ini, Selasa, 17 September 2019.
"Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.
"Setujuuu," jawab anggota DPR serempak.
Undang-undang ini tetap disahkan kendati menuai kontroversi di publik. Pengesahan revisi UU KPK ini ternyata tak menunggu pertemuan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan pemimpin lembaga antirasuah itu.
"Kami enggak bisa, tidak mungkin kami harus menunggu KPK," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas di Kompleks Parlemen, Senayan hari ini.
Menurut dia, seharusnya komunikasi KPK dengan Jokowi bisa dilakukan bukan di waktu yang terdesak seperti sekarang.
Menurut Fahri Hamzah, lembaga legislatif buru-buru mengesahkan revisi UU KPK karena mengejar masa jabatan DPR periode ini yang akan berakhir pada 30 September 2019.
"Karena ini sudah di ujung. Semua undang-undang begitu. Ini ada 8 sampai 10 UU yang dalam antrian. Revisi UU KPK ini sudah hampir 10 tahun ditunda," ujarnya.
Jika nanti ada pihak-pihak yang keberatan dengan sejumlah poin dalam revisi UU KPK, Fahri melanjutkan, DPR mempersilakan mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"DPR sudah menghadapi gugatan seperti itu ratusan kali, tidak ada masalah. Ini negara demokrasi," ujar Fahri Hamzah.