Penulis Disertasi Hubungan Intim Nonmarital Sanggah Tudingan UIN
Reporter
Shinta Maharani (Kontributor)
Editor
Jobpie Sugiharto
Rabu, 4 September 2019 13:44 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Dosen IAIN Surakarta Abdul Aziz menyanggah tudingan petinggi Universitas Islam Negeri atau UIN Yogya atas dirinya berkaitan dengan disertasi tentang hubungan intim nonmarital.
Abdul Aziz dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan berdasarkan nilai ujian disertasi doktoralnya di UIN Yogya pada Rabu, 28 September 2019 plus nilai kuliah. Disertasinya berjudul "Konsep Milk Al Yamin: Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital."
Dia membantah penilaian Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atau UIN Yogya, Noorhaidi Hasan, bahwa dia sebagai peneliti telah mengambil peran berlebihan.
"Kayaknya saya enggak bilang (melakukan) peran itu, ya. Mungkin itu di bagian saran. Biasa kan peneliti di akhir penelitian memberi saran," kata Abdul Aziz kepada Tempo pada Selasa lalu, 3 September 2019.
Menurut dia, justru rekomendasi dalam disertasi bahwa pemikiran Muhammad Syahrur melawan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dituduh berzina bisa menjadi bahan analisis baru. “Bisa berkembang."
Sebelumnya, Noorhaidi menuding Abdul Aziz telah overlap atau tumpang tindih dalam menjalankan perannya sebagai peneliti. Noorhaidi mengatakan tumpang tindih peran itu terjadi lantaran Abdul Aziz mengajukan rekomendasi dalam disertasinya.
“(Abdul Aziz) Enggak bisa jadi pemain. Itu overlap,” ucapnya seusai konferensi pers tentang kontroversi disertasi Abdul Aziz di Kampus UIN Yogya pada Selasa sore lalu, 3 September 2019.
Dia pun menyebut Abdul Aziz memakai pemikiran Muhammad Syahrur sebagai landasan menjustifikasi hubungan intim tanpa nikah. Dia lantas menyatakan UIN Yogya berkomitmen menunjukkan cara memproduksi pengetahuan secara benar.
Noorhaidi seperti menyindir Abdul Aziz. Dia mengatakan memang ada mahasiswa yang merasa tidak puas dan mengambil peran yang lebih.
Menurut Noorhaidi, rekomendasi yang diajukan Abdul Aziz tidak akademik sehingga harus direvisi. Revisi itu menyangkut satu atau dua kalimat pada abstraksi karena tim penguji menilai apa yang muncul bukan pernyataan akademis.
Disertasi itu sejak awal dirancang agar penulis menganalisa secara kritis pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep Milk Al-Yamin, termasuk mengapa itu muncul lalu dihubungkan dengan konteks sosial, budaya, dan politik.
“Melihat pemikiran Syahrur, apa pikirannya, bagaimana, dan kenapa bisa begitu,” kata dia.
Noorhaidi berpendapat, penulis disertasi seharusnya hanya berperan sebagai pemikir, bukan menawarkan rekomendasi-rekomendasi praktis. Peran-peran itu tugas pemerintah dan legislator.
Tugas seorang peneliti seperti Abdul Aziz, Noorhaidi melanjutkan, adalah menjawab apa, bagaimana, dan mengapa Muhammad Syahrur menghasilkan pemikiran tentang Milk Al-Yamin.
Lebih jauh, mengenai kemungkinan revisi esensi dari disertasi, Abdul Aziz menjawab itu tergantung pada dialektika dengan promotor dan penguji. Dia menyatakan akan tunduk kepada keputusan promotor dan penguji ihwal revisi.
Dia menerangkan bahwa dalam proses revisi ada tarik-menarik antara promotor, penguji, dan penulis disertasi.
“Kalau memang penguji termasuk promotor keberatan, biasa. Revisi saya ikuti. Kalau enggak (diikuti) saya nggak bisa lulus,” tutur Abdul Aziz.
SHINTA MAHARANI