Kisah Benny Wenda: Hutan Papua, Ditahan, Lalu Aman di Inggris

Selasa, 3 September 2019 12:10 WIB

Seorang berjalan di depan kantor Benny Wenda di Oxford, Inggris. Tempo/Kartika Chandra

TEMPO.CO, Jakarta - Nama Benny Wenda mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut dia sebagai pihak asing yang terlibat dalam kerusuhan yang melanda Papua dan Papua Barat.

"Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin, 2 September 2019.

Benny adalah Ketua Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Ketua Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka itu menyeberang untuk meminta suaka politik dari Inggris pada 2003. Dia mengaku akan pulang dan memimpin Papua jika agenda referendum berhasil.

Sebelumnya, Benny Wenda mengeluarkan surat edaran yang berisi instruksi agar rakyat Papua tak mengikuti upacara kemerdekaan 17 Agustus.

"Saya memang mengeluarkan surat edaran beberapa pekan sebelum selebrasi kemerdekaan Indonesia. Isinya menyerukan kepada rakyat Papua supaya tidak ikut upacara Tapi aksi di Surabaya yang merembet ke Papua itu spontanitas saja. Rakyat Papua yang bergerak," ujar Benny Wenda seperti dikutip Majalah Tempo edisi 2-8 September 2019.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pun mengajak masyarakat bersatu melawan Benny Wenda. "Saya kira benar Benny Wenda adalah bagian dari konspirasi untuk masalah ini."

Lalu siapa bagaimana sosok dan kiprah Benny Wenda?

Lima Tahun di Hutan
Benny kecil lahir di Papua pada 1974, atau lima tahun setelah terjadinya Penentuan Pendapat Rakyat 1969.

Dalam Pepera itu mayoritas penduduk Papua menyatakan bergabung dengan Indonesia. Human Rights Foundation, sebuah organisasi non-profit yang peduli pada isu hak asasi, mencatat saat itu Benny harus menghabiskan waktu hingga lima tahun bersembunyi di hutan bersama keluarganya setelah militer Indonesia mengambilalih Papua.

Pada 1983, orang tuanya memutuskan keluar dari hutan agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan. Jenjang pendidikan pun dilalui Benny Wenda hingga perguruan tinggi.

Setelah itu, Ia menjadi Sekretaris Jenderal Majelis Suku Koteka. Saat itu pula, Benny Wenda kerap mengadvokasi penindasan terhadap warga Papua.

Hingga pada 2002, di umurnya yang menginjak 28 tahun, Benny Wenda ditangkap atas tuduhan membakar kantor polisi. Ia lanats ditahan. Namun, Benny kabur di tengah persidangan.

Dia lantas memperoleh suaka di Inggris. Nah, di Inggris aktivitas Benny Wenda berlanjut.

Pembicara Konferensi “West Papua: The Road to Freedom”
Pada Agustus 2011 Benny Wenda menjadi salah satu pembicara dalam konferensi bertajuk “West Papua: the Road to Freedom.”

Konferensi itu diadakan oleh kelompok Free West Papua Campaign (FWPC) yang didirikan Benny di East School of the Examination Schools, Universitas Oxford. Inggris.

Benny hadir bersama tokoh lain seperti John Saltforf, peneliti dari Inggris dan penulis buku “The United Nations and The Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969.” Hadir juga Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, yang kini menjabat Menteri Luar Negeri.

Ralph terang-terangan mendukung Papua menentukan nasib mereka sendiri. Ralph juga menyebut negaranya berkomitmen menjadi tuan rumah pertemuan untuk merayakan pendirian ULMWP.

Bahkan, dia menyatakan Vanuatu siap memberikan lahan untuk kantor dari gerakan tersebut.

Saat itu, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengatakan gerakan yang mencoba mengangkat isu Papua Barat tersebut tak pernah mendapat dukungan dari pemerintah dan masyarakat Inggris.

“Orangnya itu-itu juga, saya kan dulu pernah di Inggris sebagai duta besar. Jadi saya tahu siapa orang-orangnya,” ujar Marty di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa, 2 Agustus 2011.

Kepala Perwakilan OPM di Inggris
Mei 2013, Organisasi Papua Merdeka atau OPM resmi membuka kantor perwakilan di Kota Oxford, Inggris. Menurut juru bicara Dewan Militer Tentara Pertahanan Nasional OPM Jonah Weyah, tujuan pembukaan kantor perwakilan kampanye luar negeri ini iuntuk menggalang dukungan internasional.

“Benar, ini merupakan bentuk kampanye Papua di dunia internasional atas apa yang terjadi di Papua, tujuan kantor perwakilan itu juga sebagai wahana membuka jaringan di luar negeri,” kata Jonah Weyah.

Jonah menegaskan tidak ada yang salah dari pendirian kantor perwakilan itu. Puluhan tahun kampanye OPM didengungkan dan kini saatnya menjalin hubungan lebih erat dengan bangsa-bangsa di dunia.

“Kepala perwakilan adalah Benny Wenda, kami membuka relasi dengan siapa saja untuk kampanye pelanggaran HAM di Papua, termasuk mendorong status Papua sebagai bangsa bebas."

Petisi Referendum Benny Wenda
September 2017, Benny Wenda dikabarkan telah menyampaikanj petisi permintaan referendum untuk Papua kepada Komite Dekolonialisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB.

Ketua Komite Rafael Ramirez langsung membantahnya. “Saya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah meneirma, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua,” kata Rafael di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.

Saat itu, Duta Besar RI untuk PBB Triansyah Djani, menyampaikan keterangan senada. Pada 2016 Benny Wenda juga pernah menyebut telah menyerahkan dokumen mengenai Papua kepada Sekjen PBB.

“Namun setelah dikonfirmasi ke kantor Sekjen PBB ternyata bohong,” kata Triansyah.

Menjadi Delegasi Vanuatu
Januari 2019, hubungan Indonesia dengan Vanuatu sempat memanas. Penyebabnya, negara kecil di Samudera Pasifik itu menyusupkan Benny Wenda dalam delegasi kunjungan kehormatan ke Kantor Komite Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB.

Kunjungan itu dilakukan dalam rangka membahas rekam jejak HAM atau Universal Periodic Review (UPR) Vanuatu di Dewan HAM PBB.

Kementerian Luar Negeri menjelaskan Benny Wenda yang juga anggota kelompok separatis Kemerdekaan Papua Barat sebenarnya tidak masuk dalam daftar resmi delegasi Vanuatu untuk UPR.

Maka tindakan penyusupan Benny Wenda oleh Vanuatu dinilai sangat tidak terpuji dan tidak seusai dengan prinsip fundamental Piagam PBB.

Menerima Penghargaan dari Inggris
Pada 17 Juli 2019, di usianya yang menginjak 45 tahun, Benny Wenda menerima penghargaan “Freedom of Oxford” oleh Dewan Kota Oxford, Inggris.

Dengan penerimaan penghargaan ini, Benny bergabung bersama tokoh-tokoh, seperti Colin Dexter, Nelson Mandela, Sir Roger Bannister dan Lord Nuffield yang sama-sama pernah meraihnya.

Penghargaan diserahkan langsung oleh The Lord Mayor of Oxford, Councillor Craig Simmons. Dikutip dari laman resmi Dewan Kota Oxford, Simmons merasa terhormat bisa memberikan penghargaan tersebut kepada Benny Wenda.

“Ini adalah penghargaan yang layak untuk seseorang yang mencari suaka dan tempat perlindungan di Oxford,” kata Simmons kala itu.

Benny Wenda mengatakan perjuangannya demi pembebasan Papua tidak hanya menjadi masalah orang Papua, tapi juga menyentuh hati ribuan orang di seluruh dunia. “Perjalanan saya telah membawa saya dari rimba di Papua Barat dan ke dalam penjara di Indonesia."

Pemerintah berang dan mengecam pemberian penghargaan Oxford terhadap Benny Wenda.

“Pemberian award ini menunjukkan ketidakpahaman Dewan Kota Oxford terhadap sepak terjang yang bersangkutan dan kondisi Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebenarnya," bunyi pernyataan resmi Pemerintah dikutip dari situs Sekretariat Kabinet pada Kamis, 17 Juli 2019. "Termasuk pembangunan dan kemajuannya.

FAJAR PEBRIANTO | ANTARA

Berita terkait

Eks Diplomat Inggris: AS Panik Drone Rusia Hancurkan Tank Abrams Ukraina

18 jam lalu

Eks Diplomat Inggris: AS Panik Drone Rusia Hancurkan Tank Abrams Ukraina

Percepatan bantuan militer senilai US$6 miliar ke Ukraina mencerminkan kepanikan yang dirasakan oleh pemerintahan Joe Biden dan Kongres AS

Baca Selengkapnya

Raja Charles III Siap Kembali Bertugas

1 hari lalu

Raja Charles III Siap Kembali Bertugas

Raja Charles III sudah mendapat izin dari tim dokter untuk kembali bertugas setelah menjalani pengobatan kanker.

Baca Selengkapnya

Polres Jayapura Tangkap Ceria yang Jual Sabu di Diaper MamyPoko

1 hari lalu

Polres Jayapura Tangkap Ceria yang Jual Sabu di Diaper MamyPoko

Polisi menangkap perempuan berinisial SJ alias Ceria, 43 tahun, karena menjual narkotika jenis sabu.

Baca Selengkapnya

Boyamin Saiman Sambangi KPK Minta Bantuan Mutasi PNS ke Nurul Ghufron

1 hari lalu

Boyamin Saiman Sambangi KPK Minta Bantuan Mutasi PNS ke Nurul Ghufron

Boyamin Saiman menyambangi KPK hari ini untuk menyampaikan surat permohonan bantuan kepada Nurul Ghufron. Satire minta dibantu mutasi PNS.

Baca Selengkapnya

Jusuf Kalla Sebut Akar Konflik di Papua karena Salah Paham

2 hari lalu

Jusuf Kalla Sebut Akar Konflik di Papua karena Salah Paham

Menurut Jusuf Kalla, pandangan masyarakat Papua seakan-akan Indonesia merampok Papua, mengambil kekayaan alamnya.

Baca Selengkapnya

Inggris Kucurkan Rp505 M untuk Program Integrasi Ekonomi ASEAN

3 hari lalu

Inggris Kucurkan Rp505 M untuk Program Integrasi Ekonomi ASEAN

Inggris dan ASEAN bekerja sama dalam program baru yang bertujuan untuk mendorong integrasi ekonomi antara negara-negara ASEAN.

Baca Selengkapnya

Mengintip The Black Dog, Pub yang Disebut Taylor Swift dalam Album Barunya

4 hari lalu

Mengintip The Black Dog, Pub yang Disebut Taylor Swift dalam Album Barunya

The Black Dog, pub di London mendadak ramai dikunjungi Swifties, setelah Taylor Swift merilis album barunya

Baca Selengkapnya

Lebih dari Setahun Pilot Susi Air Disandera TPNPB-OPM, Aparat Sebut Ada Kendala di Lapangan

6 hari lalu

Lebih dari Setahun Pilot Susi Air Disandera TPNPB-OPM, Aparat Sebut Ada Kendala di Lapangan

Pemerintah masih terus mengupayakan pembebasan Pilot Susi Air, Philips Mark Mehrtens. Belum ada perkembangan signifikan.

Baca Selengkapnya

TNI Pastikan Tak Ada Perubahan Pendekatan di Papua usai Rakor dengan Menko Polhukam

7 hari lalu

TNI Pastikan Tak Ada Perubahan Pendekatan di Papua usai Rakor dengan Menko Polhukam

Kemenko Polhukam sebelumnya menggelar rapat koordinasi untuk membahas situasi terkini di Papua yang juga dihadiri oleh Panglima TNI.

Baca Selengkapnya

Kemenko Polhukam Bakal Kaji Istilah Kelompok Bersenjata di Papua

7 hari lalu

Kemenko Polhukam Bakal Kaji Istilah Kelompok Bersenjata di Papua

Kemenko Polhukam belum bisa memastikan apakah penyebutan OPM seperti yang dilakukan TNI akan dijadikan keputusan negara.

Baca Selengkapnya