TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat Benny Wenda mengkritik pendekatan kepala negara terhadap Papua, termasuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Meski rajin mengunjungi Papua dan mendapat simpati masyarakat, ujar Benny, Presiden Jokowi tidak memecahkan masalah terbesar di sana.
Menurut dia, sikap Jokowi tidak satu paket dengan kehadiran militer di sana. "Tidak ada Presiden Indonesia yang memahami masalah Papua seperti Gus Dur (mantan presiden Abdurrahman Wahid)," ujar Benny Wenda seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 2-8 September 2019.
Tepat dua bulan sepuluh hari setelah dilantik menjadi Presiden keempat RI, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya. Hasil dari dialog tersebut, Gus Dur mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua.
Sebab, kata Gus Dur, Irian itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau tersebut menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian.
Selain itu, Gus Dur membolehkan pengibaran bendera bintang kejora dengan syarat dikibarkan di bawah bendera merah putih. "Dulu tidak pernah orang sebut nama "Papua". Hanya Gus Dur yang berani membela Papua. Dia juga menyebutkan Bintang Kejora sebagai lambang budaya kami," ujar Benny.
Menurut Benny, pendekatan kemanusiaan inilah yang diperlukan masyarakat Papua. Bukan dengan pembangunan yang dibayang-bayangi kehadiran militer. Dengan sejumlah kritikan tersebut, Benny menyebut, ia akan terus melobi forum internasional agar mendukung agenda referendum.
Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak tetap, kata dia, harus belajar dari negara tetangga. Seperti Prancis yang memberi kesempatan bagi Kaledonia Baru untuk menggelar referendum atau Inggris yang juga menggelar jajakpendapat untuk keluar dari Uni Eropa. "Bangsa Papua harus diberi kesempatan memilih," ujar dia.
Benny Wenda kini tinggal di Oxford, Inggris. Didakwa atas tuduhan mengerahkan massa untuk membakar kantor polisi pada 2002, Benny kabur dari penjara di tengah proses persidangan. Ketua Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka itu menyeberang ke Papua Nugini hingga akhirnya mendapatkan suaka politik dari Inggris pada 2003. Dia mengaku akan pulang dan memimpin Papua jika agenda referendum terjadi.