Pimpinan MPR Jelaskan Amandemen Terbatas UUD 1945 Kongres V PDIP
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 11 Agustus 2019 06:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kongres V PDIP di Bali menghasilkan 23 rekomendasi. Salah satunya adalah amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan diperlukan demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional," kata Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto saat membacakan hasil rekomendasi di kongres di Bali, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Diketahui, saat ini draf kajian amandemen terbatas UUD 1945 telah selesai dikerjakan di level MPR dan tengah dibahas di fraksi-fraksi. Namun, pembahasan amandemen tersebut tidak bisa selesai dalam periode parlemen kali. Kajian MPR merekomendasikan perubahan terbatas UUD 1945 khusus pasal 2 dan 3 yang mengatur tentang eksistensi, kedudukan hukum dan wewenang MPR.
Lalu, seperti apa detail amandemen terbatas UUD 1945 usulan PDIP? Apa batasan konsep MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan GBHN sebagai penyelenggaraan pembangunan?
<!--more-->
Kepada Tempo, Wakil Ketua MPR RI asal PDIP, Ahmad Basarah merinci detail amandemen UUD 1945 usulan PDIP. Konsep awal PDIP, kata Basarah, haluan negara yang diusulkan bukan hanya soal pembangunan nasional oleh eksekutif atau pemerintah tetapi juga menghadirkan lembaga-lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD.
Usulan menghidupkan kembali GBHN ini, menurut Basarah, muncul dari evaluasi
pembangunan nasional era reformasi. Di mana pembangunan bersumber dari visi dan misi dan program calon presiden dan calon wakil presiden terpilih, yang kemudian ditetapkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Dalam UU tersebut, ada arahan mengenai rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Namun, PDIP mengkritik tidak adanya satu pasal pun dalam UU tersebut yang memberikan sanksi jika ada visi-misi dan program capres-cawapres yang bertentangan atau menegasi konsep pembangunan jangka panjang. Untuk itu, PDIP menilai, GBHN penting untuk dihidupkan kembali.
Namun, untuk mengembalikan GBHN ini diperlukan penguatan fungsi MPR. Untuk itu, Basarah menyebut akan ada usulan untuk penataan kewenangan serta fungsi lembaga MPR, karena yang akan di atur dalam GBHN adalah lembaga negara yang wewenangnya diberikan UUD. Maka, harus ada lembaga yang menjadi pemandu pelaksanaan haluan negara tersebut.
"Oleh karena itu, diperlukan wewenang MPR sebagai lembaga tertinggi negara berupa wewenang untuk membuat Ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar atau mengatur lembaga-lembaga negara lainnya," ujar Basarah kepada Tempo, Jumat, 9 Agustus 2019.
Basarah menjelaskan, usulan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara, tidak sama dengan MPR pada era orde baru yang menempatkan presiden sebagai mandataris MPR. Karena pada waktu itu, Presiden dan Wapres dipilih oleh MPR.
"Presiden dan wakil presiden tetap dipilih oleh rakyat, tapi dalam menyusun visi-misi serta program pembangunan lima tahunan, harus bersumber dan menindaklanjuti haluan pembangunan nasional yang blue print-nya sudah ditetapkan oleh MPR," ujar Basarah.
Sehingga jika amandemen terbatas disepakati, kata dia, akan terjamin harmoni, kontinuitas dan kepastian pembangunan nasional secara terencana dan terukur. "Tidak seperti praktek sekarang ini, ganti presiden, ganti gubernur, bupati dan walikota maka berganti visi-misi dan program-programnya sesuai selera pemimpinnya masing-masing," ujar dia.