Mantan KSAD Budiman Apresiasi Usulan Kabinet Rekonsiliasi
Reporter
Sunu Dyantoro
Editor
Syailendra Persada
Sabtu, 13 Juli 2019 10:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purnawirawan) Budiman menyatakan pentingnya rekonsiliasi nasional usai pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada 17 April lalu. Ia melihat, pada pelaksanaan pemilu, polarisasi di dalam masyarakat agak mencemaskan. Ia mengatakan, sebagian pemilih dari dua kubu calon presiden-wakil presiden telah mulai mencair, tak lagi berkutat menyoal perbedaan politik di antara mereka.
Baca: Jokowi Diminta Tolak Syarat Rekonsiliasi Pemulangan Rizieq Shihab
Namun, Budiman melihat masih ada pendukung garis keras, dan kelompok fundamental di masing-masing kubu yang masih terus berselisih, terutama di media sosial. Itulah sebabnya, ia mengatakan pentingnya kembali merajut ikatan sosial masyarakat yang koyak pascapemilu. Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ini menyatakan lontaran gagasan untuk membentuk kabinet rekonsiliasi sebagai salah satu mekanisme untuk mengurangi ketegangan politik setelah pemilu merupakan langkah yang perlu diapresiasi.
Menurut dia, pembentukan kabinet rekonsiliasi mungkin tidak ideal buat jalannya pemerintahan. Namun, kata dia, kabinet rekonsiliasi setidaknya bisa mendekatkan kembali elite politik dan masyarakat. “Kami punya tanggung jawab agar polarisasi tidak semakin lebar,” kata Budiman dalam perbincangan dengan editor sejumlah media massa di Jakarta, Jumat malam 12 Juli 2018.
Budiman mengatakan, sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara bidang energi, dia banyak berinteraksi dengan sejumlah isu dan kajian di sektor ini. Isu yang paling stategis di sektor energi saat ini adalah defisit minyak. Defisit minyak Indonesia sangat mengkhawatirkan. Pada asumsi harga minyak US$ 65 per barel dan nilai tukar Rp 14.250,- per US$, nilai impor minyak mencapai Rp 994 miliar per hari.
Sementara itu, nilai ekspor hanya Rp 188 miliar per hari. Artinya ada defisit minyak sebesar Rp 296 triliun per tahun. Budiman mengatakan, tanpa langkah strategis yang efektif, kondisi tahun 2024 diperkirakan akan semakin parah. “Tingkat produksi minyak diproyeksikan akan semakin turun dan sebaliknya konsumsi akan semakin meningkat,” kata dia.
Budiman mengatakan, hasil perhitungan memperkirakan defisit minyak tahun 2024 dapat mencapai 477 triliun rupiah per tahun. Nilai defisit minyak yang begitu besar dalam jangka panjang berpotensi mengancam stabilitas makro ekonomi nasional. Kondisi ini akan memperburuk defisit neraca perdagangan, mendorong depresiasi nilai tukar rupiah, dan memicu inflasi. Selain itu, kata dia, situasi ini meningkatkan suku bunga dan akhirnya secara signifikan memangkas tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut dia, sejumlah kebijakan yang sudah dijalankan tampaknya belum begitu efektif. Produksi minyak nasional terus menurun dari waktu ke waktu. Program B20 hanya menyerap 3,89 persen dari konsumsi minyak nasional. Program konversi Bahan Bakar Minyak ke Bahan Bakar Gas, yang sudah digagas lebih dari 30 tahun lalu, juga belum memberikan hasil yang menggembirakan. Padahal, lanjut dia, masalah ini sangat strategis bagi keberlangsungan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Budiman berpendapat, bangsa ini tidak boleh terjebak dalam solusi-solusi kecil, yang tidak fundamental dan tidak efektif dalam melakukan perubahan. Indonesia, kata dia, membutuhkan langkah-langkah besar, untuk mendorong transformasi sektor energi di tanah air. “Salah satu langkah besar yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan subsidi silang di tingkat kendaraan. Pemerintah di satu sisi memberikan disinsentif kepada kendaran bermotor berbasis minyak, namun di sisi lain memberikan insentif kepada kendaraan berbasis listrik dan gas,” kata dia.
Budiman juga mengatakan, pemerintah bisa mengambil langkah yang lebih ekstrem. Misalnya, memberikan subsidi silang di tingkat produk energi, yang diikuti dengan program konversi yang dijalankan secara sistematis dan masif. Menurut Budiman, ada banyak kajian yang telah dilakukan, namun sayangnya kemampuan untuk mengeksekusi sebagai kebijakan masih sangat lemah. ”Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya solusi teknokratis, tapi kepemimpinan yang mampu mengeksekusi kebijakan. Transformasi sektor energi membutuhkan kepemimpinan transformatif,” kata dia.
Ketika ditanya apakah ia sedang ancang-ancang untuk masuk kabinet untuk menata sektor energi ini, Budiman menyatakan bahwa kabinet merupakan wilayah prerogatif presiden. Budiman menyatakan, dalam pemilihan presiden lalu, ia menggerakkan relawan untuk pemenangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Baca: Rizieq Shihab Syarat Rekonsiliasi Politik? PBNU: Tak Perlu Syarat
Ia juga menyatakan biasa berkomunikasi dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. PDIP merupakan partai utama pengusung Jokwo - Ma’ruf. Namun, ia tak ingin disebut mencari jabatan dengan menggunakan modal sebagai pendukung Jokowi - Ma’ruf dan kedekatannya dengan Megawati. “Saya rasa, saya tak pantas kalau mencari-cari jabatan. Sebagai mantan prajurit TNI, tentu, saya akan selalu siap menjalankan penugasan di mana pun,” kata dia.