Saat Titiek Soeharto Disoraki Ibu Presiden oleh Pendukung Prabowo
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Amirullah
Kamis, 30 Mei 2019 20:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto disoraki sebagai "ibu presiden" oleh peserta acara doa bersama untuk korban aksi 21-22 Mei 2019, yang digelar di pelataran Masjid At Tin, Jakarta Timur pada Kamis sore, 30 Mei 2019. Sorakan ini dilontarkan massa yang hadir saat Titiek akan menyampaikan sambutan.
Baca: Titiek Soeharto Hadiri Doa Bersama Korban Aksi 22 Mei
"Ibu presiden! Ibu presiden! Ibu presiden!" teriak massa.
Titiek tersenyum sembari mengatur standing microfon. Dia kemudian menyahut. "Presidennya jadi dulu, harus berjuang," kata Titiek.
Titiek Soeharto pernah menikah dengan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto pada 1983. Keduanya tak lagi bersama setelah Prabowo dipecat dari militer pada tahun 1998.
Dalam sambutannya di acara doa bersama untuk korban aksi 21-22 Mei ini, Titiek menyampaikan belasungkawa kepada keluarga para korban. Dia juga menyebut Ramadan ini menjadi ujian bagi bangsa Indonesia.
Menurut dia, bangsa Indonesia semestinya bersuka-cita di Ramadan tahun ini seusai menjalankan pesta demokrasi Pemilihan Umum 2019. Namun kata dia, yang terjadi justru sebaliknya.
"Allah memberikan ujian yang begitu berat bagi kita, yaitu ujian berupa kesemena-menaan dan kezaliman yang melukai harkat dan martabat kemanusiaan kita," ujar putri Presiden ke-2 RI Soeharto ini.
Di hadapan pendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mayoritas perempuan, Titiek mengatakan emak-emak berduka atas kematian sejumlah orang dalam aksi 21-22 Mei lalu. Dia berujar mereka juga terluka atas tindakan represif aparat yang melukai para peserta aksi.
"Kami mengutuk keras tindakan represif, kami merasa resah manakala ada saudara, suami, dan anak kami yang masih hilang pascakejadian itu," kata Titiek.
Sebagian orang, kata Titiek, diberitakan ditahan tapi tak diketahui bagaimana kondisi mereka sebenarnya. Dia pun berpendapat kondisi itu menunjukkan tak adanya penghormatan hukum dan hak asasi manusia.
"Kami tahu pada hari ini sudah tidak ada lagi penghormatan pada hak hukum dan dilecehkannya hak asasi manusia," kata dia.
Aksi 21-22 Mei digelar oleh pendukung Prabowo-Sandiaga yang menolak hasil pemilihan presiden 2019. Sebelumnya, penetapan rekapitulasi hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum menyatakan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul dari Prabowo-Sandiaga.
Aksi yang digelar di kawasan gedung Badan Pengawas Pemilu itu berujung ricuh di sejumlah titik di Jakarta Pusat. Hingga saat ini, ada delapan orang meninggal dalam kericuhan itu. Menurut laporan Majalah Tempo edisi Senin, 26 Mei, sejumlah korban meninggal diduga terkena peluru.
Baca: Titiek Soeharto Pertanyakan Penangkapan Soenarko
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan hasil pengujian terhadap proyektil selongsong peluru yang ditemukan ketika kerusuhan 22 Mei menunjukkan bahwa peluru berputar ke arah kanan atau searah jarum jam. Adapun senjata milik polisi selalu memuntahkan peluru ke arah kiri. “Bukan tipikal senjata polisi kita,” ujar Moeldoko dikutip dari Majalah Tempo, 26 Mei 2019.