Pegiat Aksi Kamisan: Penuntasan Pelanggaran HAM Kian Sulit
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Tulus Wijanarko
Kamis, 17 Januari 2019 18:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hampir lewat tiga periode pemerintahan dua presiden, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi tuntutan Aksi Kamisan tak kunjung dilakukan. Menurut Maria Catarina Sumarsih, 66 tahun, dua presiden yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo hanya melontarkan janji.
Sumarsih adalah ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang menjadi korban Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Wawan, panggilan Bernardinus, meninggal akibat ditembak peluru tajam yang menembus jantung dan paru-paru kirinya
Berita terkait:
Jokowi Perintahkan Jaksa Agung Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu
Menurut Sumarsih, Meski sama-sama tanpa hasil, menurut dia era pemerintahan Presiden SBY lebih baik dalam memperlakukan Aksi Kamisan. Ada beberapa contoh yang dia beberkan, di antaranya surat-menyurat yang lebih mudah dan jelas, langkah SBY menerima peserta Aksi Kamisan, dan pernyataan komitmen SBY dalam penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
"Dulu menyampaikan surat dari pintu gerbang Istana seberang Monas, sekarang harus pergi ke pintu gerbang yang di Jalan Majapahit. Dulu polisi intel itu membantu, kalau sekarang tidak," ujar Sumarsih.
SBY, kata Sumarsih, pernah berjanji bakal menuntaskan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dengan cara yudisial dan nonyudisial. Sedangkan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya disebut tak tertutup kemungkinan akan dituntaskan dengan cara komite kebenaran dan rekonsiliasi yang dibentuk melalui undang-undang.
Sumarsih menganggap upaya penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu justru kian sulit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bukannnya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, Jokowi malah mengangkat orang-orang yang terduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ke lingkaran istana.
Salah satunya ialah mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Panglima ABRI atau Menhamkam/Pangab, Wiranto, yang kini didapuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. "Ketika Pak Jokowi merekut para jenderal lansia, itu menunjukkan bahwa Pak Jokowi sebenarnya menutup pintu," kata dia.
Upaya penuntasan pelanggaran HAM berat belum juga menemui titik terang hingga sekarang. Pada 27 November 2018, Kejaksaan Agung malah mengembalikan sembilan berkas perkara pelanggaran HAM berat masa lalu hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Sembilan berkas itu ialah Peristiwa 1965, Peristiwa Talangsari 1998, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semangi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999, dan Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Aceh.<!--more-->
Dalam Nawacitanya, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebenarnya menyatakan komitmen penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu dan penghapusan impunitas. Komitmen ini tertuang dalam poin ii Nawacita yang berbunyi "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965."
Adapun poin jj berbunyi, "Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM."
Pemerintah menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu akan dituntaskan. Saat berpidato dalam sidang tahunan DPR dan DPD di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah terus berupaya menyelesaikan kasus-kasus HAM. Penyelesaian kasus HAM masa lalu juga diupayakan segera selesai.
"Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari," kata Jokowi.
Salah satu bukti keseriusan pemerintah, ujar Jokowi, tertera pada beleid tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019. Beleid itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015.
Penyelesaian kasus HAM masa lalu merupakan salah satu janji kampanye Jokowi dan Jusuf Kalla saat pemilihan presiden 2014. Isu ini menjadi bagian dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum.
Sebelumnya, pada 31 Mei 2018, Jokowi mengundang keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia ke Istana Kepresidenan. Agendanya adalah membahas kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. "Keluarga korban yang paling inti, intinya ingin ada pengakuan bahwa terjadi pelanggaran hak asasi pada kasus-kasus pelanggaran hak asasi masa lalu. Pengakuan dari pihak Presiden," kata aktivis HAM, Sandyawan Sumardi yang mendampingi Maria Catarina Sumarsih.
Direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid sebelumnya mengatakan bahwa Jokowi mengaku sudah berupaya mengundang keluarga korban, namun mereka tak pernah datang. Ia berharap Presiden menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat lainnya, seperti kasus Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Trisakti, Semanggi, penculikan aktivis, dan Papua.
PUTRI | VINDRY FLORENTIN | FRISKI RIANA