Pengakuan Ahmad Heryawan Seusai Diperiksa KPK Terkait Meikarta
Reporter
Antara
Editor
Elik Susanto
Kamis, 10 Januari 2019 02:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menjelaskan soal keputusannya mengenai rekomendasi penanaman modal proyek Meikarta di Cikarang, Bekasi. Penjelasan ini ia paparkan usai diperiksa KPK pada Rabu, 9 Januari 2019.
Baca: Sidang Suap Meikarta Ungkap Pertemuan James Riady dan Bupati Nenang
"Yang ditanyakan kepada saya pada intinya adalah tentang saya sebagai gubernur, yang saat itu mengeluarkan Keputusan Gubernur. Keputusan itu harus keluar karena rekomendasi yang dikeluarkan pemerintah provinsi tidak boleh ditandatangani gubernur berdasarkan Perpres No 97 Tahun 2014," kata Aher, panggilan akrab Ahmad Heryawan di gedung KPK Jakarta.
Menurut Ahmad Heryawan, isi Pepres No. 97 tahun 2014 itu adalah pendelegasian kepada kepala dinas penanaman modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk menandatangani rekomendasi tersebut.
"Karena tidak ada rekomendasi kalau tidak ada peraturan gubernur itu. Kalau saya tanda tangan tidak boleh, kalau kepala dinas tidak bisa juga karena tidak ada pendelegasian. Karena itu, ada keputusan gubernur dan sesuai dengan Perpres Nomor 97 Tahun 2014 dalam rangka memberikan pendelegasian terhadap kadis PMTPSP (Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi) agar menandatangani rekomendasi tersebut," kata Ahmad Heryawan.
Dengan demikian, kata Ahmad Heryawan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat ketika itu sudah mengeluarkan izin secara jelas. "Pemprov hanya mengeluarkan rekomendasi lahan yang sudah clean and clear. Kalau 86,4 hektare sudah clear, makanya dikeluarkan rekomendasi".
Rupanya, kata dia, pengembang Meikarta mengajukan 143 hektare yang diperuntukkan menjadi bangunan 84.6 hektare. "Itulah yang diberikan rekomendasi pemprov, sisanya ya belum. Jadi saya ceritakan proses keputusan gubernur yang memberikan pendelegasian kepada dinas PMPTSP supaya menandatangani proyek Meikarta seluas 86,4 hektare dan yang jelas saya tidak tahu urusan rekomendasi. Urusan saya hanya soal keputusan gubernur untuk memberi pendelegasian ke dinas untuk memberikan rekomendasi," kata Ahmad Heryawan menegaskan.
Kata KPK Soal Ahmad Heryawan
<!--more-->
Juru bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, Ahmad Heryawan diperiksa terkait dengan perannya ketika menjadi gubernur dalam proses perizinan Meikarta. Perizinan proyek ini berbuntut skandal suap ke sejumlah pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi.
"Jadi proses perizinan ini baik yang diketahuinya terkait dengan perizinan Meikarta yang dilakukan Kabupaten Bekasi ataupun terkait dengan rekomendasi yang menjadi domain atau kewenangan dari pemerintah provinsi," kata Febri.
Selanjutnya KPK juga mengklarifikasi sejauh mana Ahmad Heryawan mengetahui adanya dugaan penerimaan uang oleh beberapa pejabat di Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait kasus tersebut.
"Kami mulai menemukan beberapa data dan informasi dan bukti yang baru terkait dengan pihak lain yang diduga mendapatkan aliran dana. Di Pemprov Jabar, misalnya, ada pejabat atau sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dan keluarga ke luar negeri. Itu sedang dialami oleh KPK," ungkap Febri.
Dalam kasus suap tersebut, KPK masih mendalami beberapa penyimpangan perizinan yang diduga terjadi sejak awal dan keterkaitannya dengan dugaan suap yang diberikan pada Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin dan juga pendalaman sumber uang suap. Ada duggan pula keterlibatan pejabat dan pegawai Lippo Group.
KPK telah menetapkan 9 tersangka dalam kasus ini, yaitu lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, pegawai Lippo Group Henry Jasmen, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemerintah Kabupaten Bekasi Sahat MBJ Nahor.
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi.
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara suap Meikarta ini, disinyalir sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar, melalui sejumlah dinas. KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pada April, Mei, dan Juni 2018.