Kisah Tokoh Adat Pulau Sangiang Emoh Dievakuasi Pasca-Tsunami
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Ninis Chairunnisa
Senin, 31 Desember 2018 22:18 WIB
TEMPO.CO, Pandeglang - Sofian Sauri sedang berbincang dengan bapak-bapak di pelataran Masjid Al Muhajirin Pulau Sangiang saat tsunami Selat Sunda menerjang pulau itu pada 22 Desember lalu. Dia langsung meloncat dari duduknya karena mendengar jeritan minta tolong dari arah pantai.
"Saya naik motor ke arah pantai," kata Sofian saat dihubungi Tempo, Senin, 31 Desember 2018.
Malam itu, pria 42 tahun yang akrab disapa Pian itu mengingat banyak wisatawan yang sedang berlibur di pulau yang dekat dengan Gunung Anak Krakatau tersebut. Sejak sore, ia melihat puluhan wisatawan membangun tenda di tepi pantai.
Baca: Korban Tsunami Selat Sunda: 437 Tewas, 9 Belum Teridentifikasi
Namun, laju motor Pian terhenti saat sampai di 100 meter dari arah pantai. Dia melihat gulungan ombak mengarah ke daratan. Instingnya mengatakan itu tsunami.
Tak mau ambil resiko, Pian memutar balik dan memperingatkan warga di kawasan pemukiman yang berjarak 500 meter dari mulut pantai. "Ada tsunami, ada tsunami," kata dia.
Mendengar teriakannya, Pian mengajak warga berkumpul di tengah pemukiman. Dia meminta warga untuk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi di belakang kampung, termasuk istrinya dan dua orang anaknya. Setelah semua dievakuasi, Pian mengajak sejumlah warga yang mau untuk mencari korban di tepi pantai. Pencarian juga dibantu anggota TNI dan Polisi Hutan.
Baca: Saat Anak-anak Korban Tsunami Banten Jalani Trauma Healing
Pian memilih memfokuskan pencarian korban malam itu di kawasan kebun kelapa di sekitar pulau. Dia menduga banyak wisatawan dan penduduk yang menghindari ombak dengan berlari ke wilayah perkebunan kelapa milik warga.
Menurut Pian, pencarian sulit dilakukan karena kondisi yang gelap. Kesulitan juga muncul karena korban terpencar-pencar di kawasan kebun. Namun, teriakan-teriakan dari wisatawan yang tersesat di kebun membantu timnya mengetahui posisi korban.
Menurut Pian, saat ditemukan kebanyakan korban dalam keadaan syok dan mengalami luka patah tulang. Dia dan warga lainnya mesti menggendong sebagian korban menuju tempat pengungsian yang ada di bukit. Semalaman dia dan sejumlah warga melakukan pencarian.
Hasilnya, Pian berhasil mengevakuasi sekitar 50 pengunjung dan warga. Namun, setelah didata kembali, ternyata masih ada dua warga Pulau Sangiang dan dua pengunjung yang belum ditemukan.
Hilangnya dua pengunjung yang hilang diketahui dari catatan wisatawan yang datang hari itu. Sementara, dua warga Pulau Sangiang yang belum ketemu bernama Wawan, 6 tahun, dan Suparman (50).
Wawan diketahui hilang dari penuturan ibunya yang juga menjadi korban tsunami. Si ibu menceritakan bahwa Wawan ikut dirinya berjualan di tepi pantai saat kejadian. Sang ibu mengalami luka parah. Adapun Suparman diketahui tengah memandu wisatawan di malam nahas tersebut.
Pencarian korban dilanjutkan esok hari, 23 Desember 2018. Pagi itu, anggota Basarnas, TNI AL dan relawan datang untuk melakukan evakuasi dan pencarian. Pencarian berhasil menemukan dua pengunjung dalam keadaan tewas dalam kondisi tertimbun pasir. Tim gabungan juga berhasil menemukan Wawan dalam kondisi tewas di semak-semak sekitar pantai. Tim belum menemukan jasad Suparman.
selanjutnya relawan datang ke pulau Sangiang ...
<!--more-->
Salah satu relawan, yang datang pagi itu membawa kapal motor adalah Adinda Putri Pratami Aji. Dia adalah pengelola perusahaan travel yang sering ke Pulau Sangiang. Dia nekat ke Pulau Sangiang karena menganggap pulau itu seperti rumahnya yang kedua.
Dinda mengatakan saat kapalnya tiba di pulau, banyak warga dan pengunjung seakan mendapat harapan, bahkan sampai ada yang menangis. Namun di tengah kekhawatiran yang melanda, Pian terus sibuk mencari korban. Dinda mengaku sempat ikut Pian menemukan satu jenazah pengunjung yang tewas.
Pada hari itu, Dinda mengaku juga membantu TNI dan Basarnas mengevakuasi pengunjung dan warga. Dia pun sempat mengajak Pian untuk dievakuasi namun ditolak.
Baca: Pengungsi Tsunami di Perbukitan Banten Kekurangan Selimut
Beberapa hari setelahnya, Dinda kembali ke Sangiang dan mengajak Pian, namun kembali ditolak dengan alasan sama. "Dia bilang mau cari dulu satu warganya yang hilang," kata Dinda. Pian bertahan di pulau itu bersama 48 penduduk lainnya yang juga memilih bertahan.
Menurut Dinda, Pian sebenarnya tak memegang jabatan birokrasi di pulau itu. Namun Pian memang selalu sibuk untuk urusan warga, misalnya perayaan 17 Agustus. "Dia itu tokoh masyarakat," kata dia.
Pian sendiri mengaku dirinya adalah Ketua Dewan Keluarga Masjid di Pulau Sangiang. Dia menganggap dirinya sebagai pemimpin adat bagi di pulau berpenghuni 300 penduduk itu.
Kegigihan Pian untuk mencari satu warganya ternyata membuahkan hasilnya. Suparman ditemukan enam hari setelah tsunami dengan kondisi tak bernyawa. Pian mengingat menemukan jasad Suparman menyangkut di pohon.
Meski telah menemukan satu warganya yang hilang, Pian mangatakan tetap tak mau dievakuasi. Dia mengatakan ingin membantu memulihkan mental warganya. "Karena pemulihan untuk mental, makanya saya enggak bisa tinggalin warga," ujarnya.
Dia mengatakan kini aktivitas warga korban tsunami Selat Sunda diisi dengan tahlilan setiap malam. Pian kadang mengisi acara itu dengan ceramah. "Saya minta warga ikhlas dan sabar, habis kejadian ini pasti ada titik terang," kata Pian.