Ketika Korban Kekerasan Seksual Berhadapan dengan Proses Hukum

Minggu, 25 November 2018 14:56 WIB

Seoarang aktifis perempuan memegang sapnduk save our Sisters saat aksi solidaritas untuk YY di bawah jembatan Fly Over, Makassar, Sulawesi Selatan, 4 Mei 2016. Menurut data mereka kasus kekerasan seksual naik menjadi peringkat kedua keseluruhan kasus terhadap perempuan .TEMPO/Iqbal Lubis

TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai sistem hukum di Indonesia tak bersahabat terhadap korban kekerasan seksual. Sistem hukum yang ada dinilai masih mengabaikan kondisi psikologis korban.

“Pihak berwenang atau ahli hukum sering tidak mengerti situasi psikologi korban,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu kepada Tempo akhir Oktober lalu. Menurut dia, korban acap ditanya hal-hal yang justru membuatnya merasa terintimidasi.

Baca: Cerita Kelam Korban Kekerasan Seksual, Melawan Trauma dan Stigma

Apa yang disampaikan Azriana agaknya tergambar dari apa yang dialami YF, 33 tahun, korban kekerasan seksual di halte Transjakarta. Selama menjalani proses hukum kasusnya, ia kerap merasa tak dihargai sebagai korban. “Saya korban perkosaan. Tapi saya mendapat cecaran pertanyaan seperti maling,” ujarnya.

Hal tersebut salah satunya terjadi saat ia membuat laporan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya pada 20 Januari 2014 silam. Ia menjadi korban perilaku bejat empat petugas Transjakarta.

Advertising
Advertising

Kepada Tempo, ia bercerita peristiwa kelam yang dialaminya empat tahun lalu itu. Seorang diri, YF datang ke kantor Kepolisian Resor Jakarta Pusat sehari setelah kejadian. “Saat itu saya dirujuk ke PPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di lantai 2,” kata YF saat ditemui Tempo, Ahad, 18 November lalu. Ia memutuskan bercerita kepada Tempo soal kejadian pahit itu karena selama ini suaranya tak pernah didengar media dan publik.

Baca: LBH APIK: Capres Belum Serius Bela Kasus Kekerasan Seksual

YF pun mengingat lagi. Kala itu, ia berhadapan dengan lima orang anggota polisi. Dua diantaranya perempuan, dan sisanya laki-laki. YF diminta menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia sempat bernegosiasi agar ia bercerita kepada polwan saja agar lebih nyaman. Namun permintaannya ditolak. “Saya terpaksa cerita dan ada bapak-bapak polisi,” ujarnya.

Cerita YF bermula dari Senin pagi, 20 Januari 2014 saat ia berangkat kerja menggunakan bus Transjakarta. Di perjalanan ia pingsan karena asmanya kambuh. YF memang memiliki riwayat penyakit asma akut yang kerap kambuh jika terserang hawa dingin.

Ia yang lemas ditolong oleh seorang ibu dan petugas onboard Transjakarta. Saat sadar, YF berada di Halte Harmoni. Di sana lah ia bertemu empat pelaku, Edwin Kurnia Lingga, M Irfan, Dharman R Sitorus dan M Kurniawan. Perbuatan bejat para pelaku dilakukan di ruang genset.

Petugas berkebaya melakukan sosialisasi tentang pencegahan pelecehan seksual di transportasi publik saat menyambut Hari Kartini di dalam KRL, Jakarta, 20 April 2018. Kegiatan ini bertujuan memberi pemahaman kepada pengguna KRL mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual yang bisa saja terjadi. TEMPO/Muhammad Hidayat

Laporan YG ditindaklanjuti. Keesokan hari usai memberi laporan, YF diminta polisi datang ke lokasi kejadian untuk merekontruksi peristiwa secara detail. Saat itu, YF mengaku merasa tak nyaman namun tak kuasa menolak. “Mereka tahu enggak sih perasaan saya untuk masuk lagi ke ruangan itu?” ujarnya.

Dalam kondisi yang belum pulih, YF selanjutnya diminta mendampingi polisi untuk menangkap pelaku. Ia pun terpaksa berhadapan kembali dengan para pelaku pencabulan. Hari itu, dua pelaku, Dharman dan Irfan ditangkap. Sedangkan Edwin dan Kurniawan menyerahkan diri.

Penangkapan pelaku bukan berarti persoalan yang dihadapi YF berakhir. Warga Kemayoran, Jakarta Pusat itu harus menjalani proses persidangan selama lebih dari lima bulan. Lagi-lagi ia merasa tak dihargai sebagai korban.

Salah satunya saat pengacara pelaku meminta YF menggunakan kembali pakaian yang digunakan saat kejadian untuk membuktikan seberapa pendek pakaian itu di tubuhnya. “Kartika Jahja (pendamping YF) membela, hakim juga enggak setuju,” kata dia.

Baca: Komnas Sebut Banyak Kekerasan terhadap Perempuan Tak Tertangani

Empat pelaku akhirnya dikenai Pasal 281 KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara. Bagi YF, putusan itu tak adil. Hukuman tersebut tak sebanding dengan trauma dan stigma yang terlanjur melekat padanya. Sampai hari ini, ia masih berjuang melawan trauma dan stigma itu. “Aku manusia berharga. Aku bukan aib,” kata dia.

Azriana pun mencatat masih banyak korban kekerasan seksual yang tak seperti YF dan memilih bungkam. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan korban enggan buka mulut, diantaranya berkaitan dengan stigma, tekanan sosial sampai proses hukum yang justru malah menambah beban.

Ia mencontohkan masalah visum. “Tak semua visum bisa keluar dalam perkara kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,” ujarnya. Seperti kasus YF, visum fisik tidak dapat dikeluarkan kepolisian karena tidak ada luka memar di tubuh korban.

Warga yang tergabung dalam aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi simpatik di kawasan Bebas Kendaraan Bermotor di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Mei 2016. Aksi dengan membawa payung, poster, peralatan rumah tangga yang bisa dibunyikan tersebut sebagai wujud genderang tanda bahaya darurat kekerasan seksual terhadap kaum hawa terutama wanita dan anak-anak semakin nyata. TEMPO/Bram Selo Agung

Pengacara publik LBH Apik, Citra Referandum mengungkap contoh lainnya. Dari beberapa kasus yang ia tangani, penegak hukum kerap membuat korban memperagakan kembali peristiwa pencabulan atau meminta korban mencari alat bukti. Padahal dua hal tersebut dapat membebani korban yang telah mengalami kekerasan seksual.

Karena itu, kata Citra, pihaknya meminta polisi untuk mereformasi perspektif kepolisian mengenai korban kekerasan seksual. "Polisi harus memberi pemahaman untuk berpihak pada korban dan membuka serta mengecek kasus-kasus yang pernah masuk untuk dikerjakan secara cepat," ujarnya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal menanggapi hal tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam proses pemeriksaan, setiap korban dan saksi dapat didampingi oleh pengacara. "Yang memeriksa juga PPA, polwan-polwan yang sudah dilatih secara profesional, hal-hal yg sensitif, kewanitaan dan lain-lain," ujarnya."Kalau ada yg mengintimidasi itu oknum, bukan polisi."

Baca: Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat

Berita terkait

Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dilaporkan untuk Dugaan Asusila, Apa yang Masuk Kategori Pelecahan Seksual?

11 hari lalu

Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dilaporkan untuk Dugaan Asusila, Apa yang Masuk Kategori Pelecahan Seksual?

Ketua KPU Hasyim Asy'ari telah dilaporkan ke DKPP atas dugaan asusila terhadap seorang perempuan anggota PPLN. Ini aturan pidana pelecehan seksual.

Baca Selengkapnya

Kiai Abal-Abal Pemerkosa Santri di Semarang Divonis 15 Tahun Bui, Mantan Jamaah Harap Laporan Penggelapan Uang Segera Diusut

14 hari lalu

Kiai Abal-Abal Pemerkosa Santri di Semarang Divonis 15 Tahun Bui, Mantan Jamaah Harap Laporan Penggelapan Uang Segera Diusut

Muh Anwar, kiai abal-abal Yayasan Islam Nuril Anwar serta Pesantren Hidayatul Hikmah Almurtadho divonis penjara 15 tahun kasus pemerkosaan santri.

Baca Selengkapnya

Istri Anggota TNI Ditahan usai Bongkar Dugaan Perselingkuhan Suami, Perempuan Mahardhika: Darurat Pemahaman Gender

16 hari lalu

Istri Anggota TNI Ditahan usai Bongkar Dugaan Perselingkuhan Suami, Perempuan Mahardhika: Darurat Pemahaman Gender

Perempuan Mahardhika mengatakan, polisi seharusnya melindungi perempuan seperti Anandira, korban perselingkuhan suami yang berani bersuara.

Baca Selengkapnya

Bercanda Soal Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan Akui Salah dan Minta Maaf

18 hari lalu

Bercanda Soal Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan Akui Salah dan Minta Maaf

Ivan Gunawan mengunggah video pada Ahad petang ini untuk meminta maaf atas candaan kekerasan seksual yang dilontarkannya.

Baca Selengkapnya

Panen Hujatan Usai Buat Candaan Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan: Tarik Napas Dalam-dalam

20 hari lalu

Panen Hujatan Usai Buat Candaan Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan: Tarik Napas Dalam-dalam

Ivan Gunawan menuai hujatan tajam usai membuat lelucon tentang kekerasan seksual yang melibatkan Saipul Jamil.

Baca Selengkapnya

Kecanduan Pornografi Meningkat sejak Pandemi, Begini Kata Pakar

21 hari lalu

Kecanduan Pornografi Meningkat sejak Pandemi, Begini Kata Pakar

Kecanduan pornografi meningkat di masa pandemi Covid-19 bahkan anak yang masih kecil pun sudah terpapar.

Baca Selengkapnya

BEM UI Kritik Penganiayaan TNI Terhadap Warga Papua, Dibalas Serbuan Tantangan KKN di Wilayah KKB Papua

26 hari lalu

BEM UI Kritik Penganiayaan TNI Terhadap Warga Papua, Dibalas Serbuan Tantangan KKN di Wilayah KKB Papua

Ini berawal saat BEM UI mengunggah kritik yang menyoroti kasus penganiayaan warga di Papua oleh aparat.

Baca Selengkapnya

13 Anggota Satgas PPKS UI Mundur, Apa Tugas dan Wewenang PPKS di Perguruan Tinggi?

29 hari lalu

13 Anggota Satgas PPKS UI Mundur, Apa Tugas dan Wewenang PPKS di Perguruan Tinggi?

13 anggota Satgas PPKS UI mengundurkan diri. Bagaimana tugas dan wewenang PPKS perguruan tinggi tangani kekerasan seksual di lingkungan kampus?

Baca Selengkapnya

13 Anggota Satgas PPKS UI Kompak Mundur, Ini Alasannya

29 hari lalu

13 Anggota Satgas PPKS UI Kompak Mundur, Ini Alasannya

Ketua Satgas PPKS UI Manneke Budiman menegaskan bahwa pernyataan pengunduran diri tersebut telah disepakati semua anggota.

Baca Selengkapnya

Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

35 hari lalu

Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

Bayu Aji Anwari, pimpinan Yayasan Islam Nuril Anwar Kota Semarang dituntut 15 tahun penjara. Didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap 6 santri.

Baca Selengkapnya