Cerita Eks Kombatan Soal Bagaimana Bibit Terorisme Itu Tumbuh
Reporter
Shinta Maharani (Kontributor)
Editor
Widiarsi Agustina
Senin, 28 Mei 2018 06:56 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Benih-benih ekstremisme dan terorisme ternyata ditumbuhkan melalui berbagai cara. Pengamat teroris yang juga pengurus Yayasan Lingkar Perdamaian, Muhammad Ni’am Amin, mengatakan benih-benih ekstremisme tidak bisa lepas dengan kantong-kantong jihadis.
Ni'am berujar, bibit terorisme kerap dipompa di pondok pesantren, kebanyakan di Jawa Tengah. Ni’am mengaku pernah belajar di pondok itu selama beberapa bulan pada 1989.
“Kalau betah di pondok itu, mungkin semangatnya berkobar untuk ke Suriah atau Irak. Mungkin saya juga bisa menjadi bagian dari bom Bali,” kata Ni'am dalam diskusi bertajuk "Terorisme dan Hate Speech: Tragedi Kemanusiaan dan Bayang-bayang Politik" di kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 26 Mei 2018.
Bibit terorisme, menurut Ni'am, ditandai oleh kebencian terhadap simbol-simbol negara. Pondok pesantren yang pernah menjadi tempat belajarnya, misalnya, tidak mau memajang gambar presiden dan Pancasila serta tidak ada bendera Merah Putih.
Baca: Eks Napi Teroris: Jaringan ISIS Tak Rela Saya Ikut Deradikalisasi
Seorang anggota kelompok Santoso membenarkan cerita Ni'am. Ia mengaku mengenal konsep jihad melalui perang pertama kali ketika belajar di pondok pesantren yang ada di Jawa Tengah selama tiga tahun. Doktrin-doktrin ekstremisme ia peroleh dengan leluasa.
Pria yang minta namanya dirahasiakan itu menuturkan keinginan berjihad juga mendapatkan ruang ketika ia bersekolah di madrasah tsanawiyah di Poso. Ustad yang mengajarinya adalah anggota Jamaah Islamiyah (JI), kelompok terorisme yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. “Di sana, saya diajari persiapan latihan militer,” ucapnya.
Dari situ, ia kemudian menjadi kombatan Poso yang menerapkan jihad dengan cara bertahan dan berperang. Kebencian semakin tersulut ketika kawan-kawannya yang tergabung dalam jaringan Jamaah Islamiyah diburu dan ditangkap Densus 88.
Ayah dua anak ini akhirnya ditangkap dan menjadi narapidana teroris dalam kasus Poso. Tahun 2015, ia bebas dari jeruji besi. Perlu waktu dua tahun buatnya keluar dari kubangan jaringan terorisme. Ia sempat hendak dibaiat menjadi anggota Jemaat Ansarut Daulah, yang berafiliasi dengan ISIS. Tapi ia berhasil melarikan diri.
Kini, ia bergabung sebagai anggota Yayasan Lingkar Perdamaian di Lamongan, yayasan yang digagas Ali Fauzi, mantan kombatan Afganistan dan Moro. Pelaku bom Bali, Ali Imron, juga bergabung di yayasan itu.
Ni’am menuturkan Yayasan Lingkar Perdamaian di Lamongan setidaknya mendampingi seratus lebih mantan kombatan dan eks narapidana kasus terorisme. Semangat melakukan deradikalisasi juga tumbuh setelah anggota keluarganya menjadi korban kebiadaban ISIS.
SHINTA MAHARANI