Kemenhan: MoU Pesawat Tempur KFX/IFX Dikaji Ulang
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Ninis Chairunnisa
Selasa, 1 Mei 2018 08:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Totok Sugiharto mengatakan perjanjian kerjasama atau MoU pembuatan pesawat tempur Korean Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX) akan dikaji ulang.
"Sekarang lagi dikaji ulang lagi dengan masalah perjanjiannya. Jadi akan menguntungkan pihak Korea dan menguntungkan pihak Indonesia," kata Totok saat ditemui di kantornya pada Senin, 30 April 2018.
Totok mengatakan pengkajian ulang diperlukan agar tidak hanya menguntungkan pihak luar. Menurut dia, nantinya harus ada transfer teknologi sehingga semua teknologi yang ada dalam KFX/IFX juga bisa dibuat di Indonesia.
Baca: Kemenhan Sebut Ada Keterlambatan Pembuatan Pesawat Tempur KFX/IFX
Pesawat tempur KFX/IFX adalah pesawat semi-siluman generasi 4.5 yang dikembangkan Indonesia dan Korea Selatan. Kerja sama pengembangan pesawat ini sebatas pada pengembangan pesawat hingga mencapai prototipe.
Totok pun mengungkapkan salah satu alasan MoU pembuatan pesawat KFX/IFX dikaji ulang adalah karena ada spesifikasi peralatan pesawat jet tempur yang tidak disetujui Amerika Serikat. "Ada peralatan yang tidak boleh diberikan kepada kami," kata dia.
Meski begitu, Totok berharap pesawat jet tempur KFX/IFX tetap berjalan usai adanya pengkajian ulang. Dari enam prototipe yang akan dihasilkan, satu prototipe akan diserahkan kepada Indonesia.
Baca: Chassis Terlipat, Pesawat Tempur Ini Mendarat Darurat di Rusia
Pada Juli 2017, program Engineering Manufacture Development (EMD) telah menyelesaikan 14 persen dari keseluruhan perencanaan program yang berlangsung hingga 2026.
Pengembangan jet tempur ini awalnya dilakukan Korea Selatan pada 15 tahun lalu. Namun pada 2015 dibuat kesepakatan antara pemerintah Korea Selatan dan Indonesia untuk mengembangkan jet tempur ini secara bersama-sama. Kesepakatan kerja sama strategis (strategic cooperation agreement) program ini dilakukan pada 4 Desember 2015. Sedangkan kesepakatan cost sharing dan kesepakatan penugasan kerja (work assignment agreement) dilakukan pada Januari 2016.
Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia menanggung biaya program pengembangan pesawat tempur itu sebesar 20 persen, sementara Korea Selatan 80 persen. Dalam 10 tahun pengembangan yang akan dilakukan hingga 2026, total biaya yang ditanggung Indonesia mencapai Rp 21,6 triliun.