KontraS Menilai RKUHP Masih Berisi Pasal Bermasalah

Jumat, 9 Februari 2018 10:03 WIB

Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia, saat menyampaikan siara pers terkait peringatan 15 tahun gerakan melawan praktik hukuman mati sedunia pada 10 Oktober 2017" di kantor Kontras, Kwitang, Jakarta, 10 Oktober 2017. Tempo/Saifullah

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan mendorong pembahasan kembali dengan melibatkan masyarakat sipil. Rancangan beleid itu dinilai masih memuat sejumlah pasal bermasalah.

Kepala Bidang Advokasi Putri Kanesia mengatakan setidaknya ada lima belas poin bermasalah dalam RKUHP. "Aturan bermasalah itu berpotensi mengkriminalisasi warga negara dan melanggar hak asasi manusia (HAM)," kata Kepala Bidang Advokasi Putri Kanesia di kantornya, Jakarta, Kamis, 8 Februari 2018.

Baca: Alasan JK Tetap Setuju Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

Salah satu poin bermasalah terdapat dalam bab tentang tindak pidana berat terhadap HAM Pasal 680 hingga 683 sesuai draft RKUHP per 2 Februari 2018. Dalam pasal itu terjadi degradasi keseriusan pemerintah dalam melihat dan menindak kasus pelanggaran HAM berat. Sebabnya, pengaturan batas pidana bagi kejahatan genosia dan kejahatan kemanusaiaan dalam RKUHP lebih rendah, yakni minimum 5 tahun dan maksumum 20 tahun penjara. Sementara itu, dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ancaman hukumannya paling ringan 10 tahun dan paling berat 25 tahun penjara.

Pemerintah juga kembali memunculkan pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan kebencian terhadap pemerintah. Aturan itu tertera dalam Pasal 238, 239, 259, dan 260 RKUHP. Padahal pada 2006, aturan yang sama telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Putri menilai aturan itu semakin bermasalah karena diubah menjadi delik umum dari sebelumnya delik aduan. Artinya, siapa pun yang menghina presiden dapat diproses hukum tanpa menunggu aduan korban.

Baca: DPR dan MUI Sepakat LGBT Dipidana dalam RKUHP

Advertising
Advertising

KontraS juga menyoroti masih adanya pidana hukuman mati dalam RKUHP. Pidana mati dalam rancangan beleid itu diatur sebagai pidana alternatif. Artinya, setiap terpidana mati harus menjalani masa tunggu selama 10 tahun dalam tahanan sebelum pemerintah mengevaluasi sikap terpidana. Jika dia dinyatakan berkelakuan baik, hukumannya dapat diturunkan menjadi hukuman penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Kepala Divisi Pembelaan HAM, Arief Nur Fikri, mengatakan kebijakan ini menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. "Terlebih tidak ada jaminan bagi terpidana mati yang telah menjalani masa tunggu selama 10 tahun akan dinyatakan memenuhi syarat untuk diturunkan hukumannya," kata dia. Jika tak dinyatakan berkelakuan baik, terpidana tersebut justru harus menjalani dua kali hukuman sekaligus yaitu dipenjara 10 tahun dan dieksekusi mati kemudian.

Dalam RKUHP ini, KontraS juga melihat masalah karena adanya penyempitan kategori penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya dibandingkan dengan Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU NOmor 5 Tahun 1998.

Dalam pasal tentang penyiksaan di RKUHP, KontraS mencatat tak ada penjelasan spesifik mengenai bentuk pertanggungjawaban pelaku dan tidak ada aturan tentang bentuk perlakukan atau penghukuman lain yang lebih kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Selain itu, ancaman pidana yang diatur lebih rendah dari konvensi anti penyiksaan.

Berkaca dari masalah-masalah tersebut, KontraS mendesak DPR untuk mengkaji ulang RKUHP yang saat ini dirancang dengan mengundang masyarakat sipil untuk menghindari pertentangan aturan dengan konstitusi, prinsip demokrasi, dan HAM.

KontraS juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak pengesahan RKUHP yang masih berisi pasal-pasal bermasalah. Kementerian Hukum dan HAM diminta memberikan masukan terkait sejumlah pasal krusial yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakjelasan hukum.

KontraS juga mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk secara aktif melibatkan diri mengawal pembahasan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Tanpa pengawasan, pasal bermasalah itu berpotensi membatasi serta mengancam hak-hak fundamental dan kebebasan sipil warga negara.

Berita terkait

26 Tahun Tragedi Trisakti, Bagaimana Perkembangan Pengusutan Pelanggaran HAM Berat Ini?

4 hari lalu

26 Tahun Tragedi Trisakti, Bagaimana Perkembangan Pengusutan Pelanggaran HAM Berat Ini?

Genap 26 tahun Tragedi Trisakti, bagaimana perkembangan pengusutan pelanggaran HAM berat ini? KontraS sebut justru kemunduran di era Jokowi

Baca Selengkapnya

Mei Bulan Reformasi: Kapan #ReformasiDikorupsi Mulai Muncul, Apa Pencetusnya?

5 hari lalu

Mei Bulan Reformasi: Kapan #ReformasiDikorupsi Mulai Muncul, Apa Pencetusnya?

Mei menjadi bulan lahirnya era reformasi, tepatnya pada 1998. Hingga viral #ReformasiDikorupsi, peristiwa apa yang mencetusnya muncul?

Baca Selengkapnya

Pro-Kontra atas Keputusan TNI Kembali Gunakan Istilah OPM

34 hari lalu

Pro-Kontra atas Keputusan TNI Kembali Gunakan Istilah OPM

Penyebutan OPM bisa berdampak negatif karena kurang menguntungkan bagi Indonesia di luar negeri.

Baca Selengkapnya

Soal Perubahan Istilah KKB Jadi OPM, Begini Kritik Komisi I DPR RI, Pakar Militer, hingga KontraS

35 hari lalu

Soal Perubahan Istilah KKB Jadi OPM, Begini Kritik Komisi I DPR RI, Pakar Militer, hingga KontraS

Perubahan penyebutan istilah KKB jadi OPM menuai kritik dari sejumlah pihak. Apa saja kritik mereka?

Baca Selengkapnya

Ragam Reaksi atas Keputusan TNI Kembali Pakai Istilah OPM

36 hari lalu

Ragam Reaksi atas Keputusan TNI Kembali Pakai Istilah OPM

Penggantian terminologi KKB menjadi OPM dinilai justru bisa membuat masalah baru di Papua.

Baca Selengkapnya

KontraS Desak Pemerintah Mitigasi Dampak Perubahan Istilah KKB bagi Keamanan di Papua

37 hari lalu

KontraS Desak Pemerintah Mitigasi Dampak Perubahan Istilah KKB bagi Keamanan di Papua

KontraS mengatakan perubahan nama KKB menjadi OPM itu harus diikuti dengan jaminan perlindungan dari negara bagi masyarakat yang ada di Papua.

Baca Selengkapnya

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

46 hari lalu

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

Penganiayaan jurnalis oleh 3 anggota TNI AL terjadi di Halmahera Selatan. Ini respons Dewan Pers, AJI, dan KontraS. Apa yang ditulis Sukadi?

Baca Selengkapnya

Anggota TNI Diduga Siksa Jurnalis di Halmahera Selatan, KontraS: Tak Manusiawi

48 hari lalu

Anggota TNI Diduga Siksa Jurnalis di Halmahera Selatan, KontraS: Tak Manusiawi

Danlanal Ternate meminta maaf atas insiden kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Bacan, Halmahera Selatan.

Baca Selengkapnya

KontraS Sebut Langkah TNI Tangani Kasus Papua Belum Cukup, Perlu Evaluasi Total

54 hari lalu

KontraS Sebut Langkah TNI Tangani Kasus Papua Belum Cukup, Perlu Evaluasi Total

KontraS mengatakan perlu dilakukan evaluasi total seluruh langkah dan pendekatan keamanan yang selama ini berlangsung di Papua.

Baca Selengkapnya

Datangi Kempolrienpan RB, KontraS Minta Hentikan RPP Penempatan Jabatan Sipil TNI - Polri

58 hari lalu

Datangi Kempolrienpan RB, KontraS Minta Hentikan RPP Penempatan Jabatan Sipil TNI - Polri

KontraS mendatangi Kemenpan RB untuk memberikan catatan kritis RPP tentang manajemen ASN terutama pasal penempatan jabatan sipil oleh TNI-Polri.

Baca Selengkapnya