Pengamat: Calon Presiden 2019 Perlu Pertimbangkan Sentimen Agama
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Rina Widiastuti
Minggu, 28 Januari 2018 07:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengatakan calon presiden perlu mempertimbangkan sentimen agama dalam memilih pendampingnya ketika maju pemilihan presiden (Pilpres 2019). Sebab, meningkatnya persentase ihwal sentimen agama terus meningkat, dari 40 persen pada Maret 2016 menjadi 71,4 persen pada Januari 2017.
"Karena angka 70 persen masih signifikan, mau tidak mau harus mempertimbangkan itu," kata Kacung di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Januari 2018.
Baca: SMRC: Presiden Jokowi Kunci Elektabilitas PDIP di Pilpres 2019
Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi dan Prabowo Subianto adalah calon presiden (capres) terkuat yang dinilai sebagai sosok nasionalis. Karena sentimen agama itu, LSI berpendapat, keduanya perlu menggandeng calon wakil presiden (cawarpes) dari tokoh muda Islam.
Mereka yang berpeluang mewakili stigma tokoh muda Islam itu adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuzy, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGB. M. Zainul Majdi, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
"Kemungkinan koalisi antara nasionalis dan religius jadi sangat penting," ujar Kacung.
Baca: Kaleidoskop 2017:Jokowi Vs Prabowo Serta Rebutan Kursi Cawapres
Kacung berpendapat isu agama memang tak bisa lepas dalam memilih pemimpin. Namun, kata dia, yang terpenting adalah bagaimana faktor agama tak menghilangkan pertimbangan lain, seperti kinerja dan program kerja pasangan calon (paslon).
Menurut Kacung, yang menjadi persoalan adalah ketika masyarakat lebih memilih paslon karena kesamaan agama, bukan program kerja atau rekam jejaknya. "Jangan sampai ini (agama) jadi satu-satunya alasan untuk memilih karena ini soal leadership. Nanti kalau dia tidak mampu bagaimana," ujarnya.
Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai politik identitas tak bisa dihindari dalam Pilpres 2019. Akan tetapi, eksploitasi identitas untuk kepentingan politik perlu dihindari agar tak mengulang kuatnya unsur suku, agama, dan ras (SARA) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta.