Refleksi Akhir Tahun, Ketua MPR Ajak Media Ikut Redam Isu SARA
Jumat, 29 Desember 2017 18:35 WIB
INFO MPR – Indonesia segera memasuki tahun politik pada 2018. Pada tahun tersebut, akan ada 171 pemilihan kepala daerah (pilkada) serta pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada September 2018. Kampanye pun turut dimulai di tahun depan. Karena itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan berharap pada tahun depan isu-isu seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bisa diredam.
“Persoalan SARA, perbedaan dan keragaman sudah selesai 72 tahun lalu. Jangan lagi kita mempersoalkan agama, suku, dan latar belakang. Jangan lagi kita mempersoalkan apa yang sudah disepakati 72 tahun lalu,” katanya dalam refleksi akhir tahun bersama wartawan, di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Jumat, 29 Desemeber 2017.
Zulhasan, sapaan akrab Zulkifli Hasan, mengajak kalangan media cetak, online, dan elektronik, untuk meredam bersama-sama isu-isu seperti SARA. Kalangan media perlu memberikan edukasi kepada masyarakat. Jika tidak diberi edukasi, masyarakat akan mempercayai media sosial. “Mari kita bersama-sama untuk meredam. Tugas MPR adalah menjaga persatuan. Saya berharap media membantu MPR untuk meluruskan kembali janji-janji kebangsaan,” ujarnya.
Dia juga berharap pada tahun politik nanti, kontestasi pilkada tidak lagi mempertaruhkan segalanya. Jangan lagi pilkada menghalalkan segala cara. Pilkada adalah adu konsep dan gagasan. “Setelah persaingan, kita harus bersatu lagi sebagai saudara,” ucapnya.
Dari berbagai diskusi, Zulhasan mengungkapkan persoalan utama bangsa adalah kesenjangan dan social distrust. Publik tidak percaya pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), partai politik (parpol), dan organisasi masyarakat (ormas) besar secara struktural. Penyebabnya, DPR, parpol, dan ormas tidak memperjuangkan apa yang dirasakan masyarakat.
Selain itu, publik juga merasakan kehilangan pengamat politik dan ekonomi yang kritis. Peran pengamat politik dan ekonomi yang kritis sudah diambil alih para ulama dan penceramah agama. Kondisi ini diperparah dengan pilkada yang menggunakan isu SARA. “Kondisi ini melahirkan saling curiga, saling menista, dan nilai persaudaraan kebangsaan yang mulai memudar. Ini disebabkan mampetnya saluran aspirasi masyarakat,” ucapnya. (*)