Charta Politika: Pemutaran Film G30S Pisau Bermata Dua bagi Gatot
Reporter
budiarti.utami putri
Editor
Endri Kurniawati
Sabtu, 23 September 2017 11:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan instruksi pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI merupakan pisau bermata dua bagi popularitas dan elektabilitas Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo. Belakangan, Gatot dilirik beberapa partai untuk diusung sebagai calon presiden 2019.
Orang-orang yang percaya dan cenderung menikmati propaganda Orde Baru mungkin akan bersimpati kepada Gatot. "Namun, orang-orang yang percaya bahwa film G30S adalah bagian dari sebuah rezim yang juga memiliki banyak dosa politik, mungkin itu akan jadi bumerang," kata Yunarto ketika dihubungi melalui telepon, Jumat, 22 September 2017.
Yunarto berpendapat instruksi pemutaran ini hanya akan menarik simpati orang-orang yang memiliki nostalgia baik dengan Orde Baru. Sebaliknya, orang-orang yang menganggap Orde Baru sebagai sebuah rezim dengan banyak kesalahan politik justru akan antipati terhadap Gatot.
Nama Gatot di masyarakat, kata Yunarto, mulai muncul tapi belum dikenal secara luas dan merata. Perbincangan mengenai sosok panglima dengan sepak terjang dan manuvernya baru populer di level elite, belum merata di seluruh segmen masyarakat. "Sebetulnya baru dua nama yang bisa dianggap mumpuni untuk bersaing di 2019, yaitu masih pertarungan lanjutan antara Jokowi dan Prabowo," kata dia.
Yunarto memaparkan, ada dua tantangan lain yang dihadapi Gatot. Pertama, nama Gatot terpendam dengan masih adanya Prabowo sebagai bakal calon yang sama-sama berlatar belakang TNI. Popularitas Prabowo, kata Yunarto, unggul karena pernah menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dalam pemilihan umum sebelumnya.
Kedua, citra TNI yang dipandang dekat dengan rezim Orde Baru dapat membuat sebagian kalangan masyarakat menolak pencalonan Gatot. Sebagian kalangan aktivis dan orang-orang yang pernah mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru mungkin akan cenderung menolak terhadap orang yang diidentikkan dengan rezim itu. "Termasuk calon presiden dari kalangan TNI," ujar Yunarto.
BUDIARTI UTAMI PUTRI