Seperti diketahui, Yunus Yosfiah kembali disorot berkaitan dengan kasus pembunuhan lima wartawan Australia di Balibo, daerah perbatasan Timor Barat (NTT) dengan Timor Leste pada 16 Oktober 1975.
Yunus Yosfiah termasuk pejabat militer Indonesia yang bertugas lama di Timor Leste, bahkan sebelum integrasi Timor Leste dengan Indonesia. Pada masa integrasi, Yunus sempat menjabat sebagai Komandan Yonif 745 di Lospalos dan menikah dengan seorang wanita asli Timor Leste. Setelah itu, dia dipromosikan sebagai Danrem 164/Wira Dharma Dili.
Saat pecah perang saudara yang dimulai dari Balibo, daerah perbatasan Timor Barat dengan Timor Leste, Yunus disebut-sebut terlibat pembunuhan lima wartawan Australia. Kelima wartawan itu adalah Malcolm Rennie (28), Brian Petters (29), Greg Schakleton (27), Tony Steward (21) dan Garry Comingham (27).
Menurut Caldas, mestinya Australia dan Portugal malu dan tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Sebab, kata dia, justru Australia dan Portugal yang telah memicu perang saudara berkepanjangan di Timor Leste pada 1975. “Kalau Australia mau cuci tangan, kenapa wartawannya ada di perbatasan waktu itu. Saya kira lima orang Australia itu bukan wartawan, tapi personil intelijen Australia,” kata dia.
Sebagai saksi mata pembantaian Fretilin di Same, Manufahi, Timor Leste, Caldas menilai tuduhan bahwa Yunus Yosfiah merupakan otak intelektual pembunuhan lima wartawan Australia itu mengada-ada. Ia juga menolak permintaan UNTAET agar pemerintah Indonesia menyerahkan Yunus Yosfiah untuk diadili di Dili. Sebab, menurut dia, kalau mau dilihat, dari namanya saja sebenarnya Untaet itu hanya pemerintahan transisi. “Apakah putusan pengadilan dalam sebuah pemerintahan transisi seperti itu mempunyai kekuatan hukum tetap?” kata dia setengah bertanya. (Cyriakus Kiik)