Pagi Horor di Starbucks, Kisah Ekspatriat Korban Bom Thamrin
Editor
Yudono Yanuar Akhmadi
Senin, 18 Januari 2016 17:01 WIB
Blaaarrrrr…..!!! Frank jatuh. Dia tak sadar apa yang terjadi. “Semua serba putih. Kabut. So quiet. Saya tidak mendengar apa-apa,” kata Frank. Satu, dua, tiga, empat, lima detik, kesadaran Frank perlahan pulih. Dia coba berdiri. “Saya lihat sekitar. Semuanya hancur. Kursi, meja, sofa, berserakan. Lantai licin, penuh serpihan kaca.”
Frank melihat Johan Kieft, kawannya, yang jatuh di lantai, tak bergerak. “Dia melihat saya dengan tatapan yang aneh,” kata Frank. “Saya ajak dia keluar, tapi dia diam saja. Mau saya angkat, badannya terlalu besar. Saya tak kuat.”
Frank mencari jalan keluar. Kaca-kaca jendela semua sudah rontok. Frank berjalan menuju jendela tanpa kaca di dekat area meja tinggi. Dia melompat keluar. Bruk…! Frank jatuh. Pandangannya kabur. Kacamatanya, minus 7, hilang entah ke mana.
Perlahan, Frank bangkit lagi dan berjalan menuju arah Djakarta Theater. “Saat saya berjalan keluar itu, saya dengar ledakan kedua dari arah jalan Thamrin,” kata Frank. Itulah bom kedua, yang meledak di Pos Polisi di Jalan Thamrin.
Orang-orang yang berkerumun di sekitar Gedung Skyline, tempat Starbuck, kaget melihat Frank. Seorang perempuan mendekat sambil berteriak, “Api, api, api…!” Frank baru sadar bahwa tubuhnya berlumuran darah. Lengan kanan baju batiknya terbakar. “Saya tepuk-tepuk lengan kanan saya, supaya apinya padam.” Ada paku yang tersangkut di dekat kancing bajunya. “Untung paku itu tidak masuk ke badan saya.”
Selanjutnya: Ditolong Pria Baik Hati
<!--more-->