Rekaman Setya: Percakapan Inikah Disebut Permufakatan Jahat?
Editor
Saroh mutaya
Kamis, 3 Desember 2015 12:13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengungkapkan, kejaksaan tengah menyelidiki dugaan korupsi di balik kasus perpanjangan kontrak karya Freeport. Ia menduga ada pemufakatan jahat di balik kasus yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto itu.
"Ada yang lebih penting dibanding masalah pencatutan nama (Presiden Joko Widodo), yaitu unsur korupsinya. Sekarang lagi kami pelajari," ujar Prasetyo ketika diwawancarai majalah Tempo, Rabu dua pekan lalu. Menurut Prasetyo, jika pemufakatan jahat itu terjadi, negara akan rugi besar. Apalagi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai dilangkahi.
"Transkrip yang sudah ada sekarang baru memberikan petunjuk awal. Moga-moga saja itu benar," kata Prasetyo.
Delik permufakatan jahat itu diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan korupsi. Berikut aturan itu beserta pasal lain yang relevan:
Pasal 15:
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 3:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Percakapan dalam Rekaman
Adapun rekaman percakapan yang melibatkan Setya Novanto itu telah diputar di sidang Mahkamah Kehormatan DPR, 2 Desember 2015. Berikut cuplikannya:
Muhammad Riza Chalid (MR): Bapak itu sudah jalan divestasi sudah berapa persen?
Presdir Freeport Maroef Sjamsoeddin (MS) : 30 % yang sudah jalan
MR: Yang sudah jalan 9 persen dong
MS: 9,3 %. DIpegang BUMN
Ketua DPR Setya Nobanto (SN): Kalau gak salah itu Pak Luhut sudah bicara.
MR: Pak Luhut sudah bicara
SN: Pak Luhut bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut udah ada unek-unek Pak
MR: Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut janganlah ambil 20%, ambillah 11% kasihlah Pak JK 9%. Harus adil, kalau enggak ribut.
SN: Iya. Jadi kalau pembicaraannya Pak Luhut di San Diago, dengan Jim Bob, empat tahun lalu. Itu, dari 30 persen itu, dia memang di sini 10 %. 10 persen dibayar pakai deviden. Jadi dipinjemin tapi dibayar tunai pakai deviden. Caranya gitu, sehingga menggangu konstalasi ini. Begitu dengar adanya Istana cawe-cawe, Presiden nggak suka, Pak Luhut ganti dikerjain. Kan begitu. Sekarang kita tahu kuncinya. Kuncinya kan begitu begitu lhp hahahaha. Kita kan ingin beliau berhasil. Di sana juga senang kan gitu. Strateginya gitu lho.. Hahahaa
MS: Lobbies
MR: Untuk pertama kali, berapa yang saya olah. Disampaikan, kalau cawe-cawe kan dia juga kerja di konsultan. Dia kan kalau konsultan datang, dia langsung bikin titik.
MS: Ada saya baca..
MR: Saya punya presentasinya. Habis presentasi sedetil itu, habis itu langsung saya telpon. Tanggal berapa itu
SN: Sekarang sudah digarap sama Bung Riza. Hahahaa… Saya tahu Pak..
MS: Tanggal 14
MR: Memang kita tidak mau mencampuri politik. Tapi kenyataannya barier politik itu ada. Kerjanya cepat..Makanya….dan happy. KIta akan kasih pengertian. Pak Luhut pasti oke. Karena Pak Luhut gak terlalu gini juga. Kita happy-happy semua Pak. Kalau bapak happy, kita semua juga happy.
SN: Kita happy Pak kalau Bung Riza yang mengatur
ISTMAN M.P. | TIM TEMPO
Baca juga:
3 Hal Ini Membuat Setya Novanto Sulit Ditolong!
Penjara Dijaga Buaya: Kenapa Ide Budi Waseso Tak Manjur?