Jawa Tengah Darurat Kekerasan Perempuan dan Anak
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Selasa, 1 Desember 2015 15:44 WIB
TEMPO.CO, Semarang - Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah menyatakan, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Tengah terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Jawa Tengah berada pada situasi darurat untuk penyelamatan perempuan dan anak dari kasus kekerasan,” kata Ketua KPK2BGA Jawa Tengah Soka Handinah Katjasungkana dalam acara ekspos kasus kekerasan berbasis gender dan anak di kantornya, Selasa, 1 Desember 2015.
Berdasarkan data kekerasan semester I 2015, sudah terjadi kekerasan yang menimpa 565 orang yang sebagian besar perempuan. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2014, yakni 561 orang.
Kasus kekerasan perempuan setiap tahun meningkat, yakni pada 2012 ada 393 kasus kekerasan, 2013 meningkat menjadi 766 kasus, dan 2014 sebanyak 679 kasus. Dari kasus itu, yang paling banyak adalah kekerasan fisik, yakni 2012 sebanyak 322 kasus, 2013 (242 kasus), dan 2014 (429 kasus).
Adapun kekerasan anak adalah 2012 ada 483 kasus dengan korban 78 anak laki-laki dan 405 anak perempuan. Pada 2013 ada 595 kasus dengan korban anak laki-laki 104 dan 491 anak perempuan. Adapun di tahun 2014 kasus meningkat menjadi 799 kasus dengan perincian yang menjadi korban 152 laki-laki dan 627 anak perempuan.
“Mayoritas kekerasan terhadap anak adalah kekerasan seksual yang mayoritas korbannya anak perempuan,” kata Handinah.
Data ini berasal dari berbagai monitoring KPK2GBA, laporan pusat pelayanan terpadu (PPT) perempuan dan anak 35 kabupaten/kota, serta laporan masyarakat. Handinah memperkirakan kasus kekerasan lebih banyak lagi karena banyak kasus yang tidak terungkap.
Aktivis perempuan ini menambahkan, pelaku kekerasan seksual anak lebih banyak orang yang dikenal atau orang dekatnya. Bahkan, kata dia, anak juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.
Handinah mencontohkan ada seorang anak usia 11 tahun memperkosa 7 orang temannya (5 laki-laki dan 2 perempuan). Ada juga anak usia 15 tahun menyodomi 3 orang anak laki-laki. Juga ada kasus 3 anak laki-laki mencabuli adik kelasnya. “Ada juga kasus seorang tokoh masyarakat membeli jasa seks dari mucikari yang korbannya masih berusia 16 tahun,” kata Handinah.
KPK2BGA mempetakan banyak faktor kenapa kasus kekerasan masih terus meningkat, mulai dari masih budaya patriarki, rendahnya penegakan hukum terhadap pelaku, faktor kemiskinan, hingga penggunaan media, terutama media sosial yang tidak bijak. Di sisi lain, penanganan korban juga masih belum maksimal. Misalnya, belum maksimalnya sistem rehabilitasi sosial korban.
Ke depan, kata Handinah, pemerintah perlu memperkuat gerakan antikekerasan perempuan dan anak. Salah satu bentuknya adalah mendorong peningkatan anggaran untuk sektor ini. Selain itu, penegak hukum harus tegas agar pelaku kekerasan bisa jera.
Aktivis Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jawa Tengah, Elina Lestariyanti, juga menyebut kasus kekerasan perempuan dan anak di Jawa Tengah masih tinggi. Data yang dihimpunnya, selama periode November 2014-Oktober 2015 tercatat ada 477 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. “Jumlah perempuan yang menjadi korban 1.227 orang dengan jumlah pelaku 712 orang,” katanya.
Elina menyatakan, adanya kekerasan itu mengakibatkan ada 21 korban meninggal dunia yang terdiri atas 9 meninggal karena kasus buruh migran, 8 meninggal karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 2 meninggal karena kasus Kekerasan dalam Pacaran (KdP), 1 meninggal karena kasus perkosaan, dan 1 meninggal karena kasus prostitusi.
Elina menyatakan, jenis kekerasan yang dialami perempuan di Jawa Tengah didominasi kekerasan dalam rumah tangga, yakni 201 kasus dengan 201 korban, 94 kasus kekerasan dalam pacaran (KdP) dengan 274 korban, perkosaan 68 kasus dengan 102 korban, prostitusi 48 kasus dengan 479 korban, buruh migran 25 kasus dengan 110 korban, perbudakan seksual 21 kasus dengan 21 korban, pelecehan seksual 13 kasus dengan 19 korban, dan trafficking 7 kasus dengan 21 korban.
Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM Rani Pawestri Setiyani menambahkan, daerah yang memiliki paling banyak kasus kekerasan perempuan adalah Kota Semarang dengan 177 kasus, Wonosobo (60 kasus), Surakarta (37 kasus), Kendal (26 kasus), dan Kabupaten Semarang (15 kasus).
Dari 1.227 korban kekerasan terhadap perempuan, 68,38 persen korban mengalami kekerasan seksual, 16,87 persen korban mengalami kekerasan psikis, dan 14,75 persen korban mengalami kekerasan fisik.
LRC-KJHAM mendesak pemerintah daerah segera mengalokasikan anggaran yang cukup untuk layanan medis, bantuan hukum, dan pendidikan bagi perempuan korban kekerasan. Mereka juga mendesak agar DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
ROFIUDDIN