Revisi UU KPK, Pukat: Pemerintah Tak Serius Berantas Korupsi
Editor
Agung Sedayu
Selasa, 1 Desember 2015 11:32 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti senior di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah, Mada Hifdzil Alim, menolak keras pembahasan Rancangan Undang-Undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ia menilai langkah itu adalah bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam pemberantasan korupsi. "Inkonsisten. Satu kata untuk menggambarkan bagaimana desain penegakan hukum antikorupsi yang diusung pemerintah," kata Hifdzil, Selasa, 1 Desember 2015.
Ia menjelaskan soal penyidik independen. Polemik itu sebenarnya sudah selesai tahun lalu, ketika asumsi dibangun bahwa lembaga penegakan hukum atau auditor bisa mempekerjakan sendiri penyidiknya. Hal ini lumrah di semua negara yang memiliki komisi negara independen. "Saya kira pemerintah sudah setuju soal penyidik independen, tapi ternyata mereka memainkannya kembali. Ini inkonsistensi yang membahayakan penegakan hukum antikorupsi," ujarnya.
Soal penyadapan, kata dia, sudah ditolak oleh masyarakat sipil. Mekanisme yang melewati pengadilan sebenarnya adalah pilihan yang diambil beberapa negara, misalnya Amerika Serikat. Namun ada catatan khususnya. Pengadilan Amerika cukup berhasil menerapkan clean and independent judiciary. Namun, di Indonesia, perihal pengadilan yang bersih masih menjadi tanda tanya yang dapat mendukung penyadapan. "Karena itu, saat ini, usul interception melalui pengadilan masih ditolak," tutur Hifdzil.
Ia juga menyoroti soal harus adanya dewan pengawas yang masih redundant dengan lembaga penasihat KPK. Jika teori yang dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus selalu ada pengawas, "Lalu nanti yang mengawasi dewan pengawas siapa? Ini sebenarnya pernyataan saling-silang. Untuk memutusnya, maka diberikan wewenang tertentu kepada penasihat KPK untuk dapat menjalankan mekanisme pengawasan terhadap pimpinan KPK," ucapnya.
Soal KPK (dalam rancangan UU) akan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), ia menyatakan belum ada studi yang menyatakan ada kerugian materiil maupun imateriil yang dihasilkan dari aturan KPK tidak menerbitkan SP3. "Karena itu, pernyataan tentang SP3 yang dilontarkan DPR dan pemerintah menurut saya sangat lemah," kata Hifdzil.
Termasuk, kata dia, tidak perlu diterbitkannya SP3 bagi tersangka yang meninggal dunia. Logikanya, dalam hukum pidana, kalau tersangka meninggal, tidak dapat dilakukan penuntutan maupun penghukuman. Itu adalah alasan peniadaan penuntutan dan penghukuman. "Namun harta benda yang diduga dari hasil korupsi oleh tersangka yang meninggal tadi bisa diajukan gugatan," ujarnya.
Aktivis Jogja Corruption Watch, Baharuddin Kamba, menyatakan ada upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah ini. Apalagi yang menjadi tersangka oleh KPK juga banyak dari kalangan DPR dan pejabat pusat maupun daerah. "Sangat nyata para petinggi negara ini ingin KPK lemah," tuturnya.
MUH SYAIFULLAH