Kebakaran Hutan, Walhi: Wilmar Harusnya Putuskan Kontrak
Editor
Untung Widyanto koran
Minggu, 18 Oktober 2015 04:19 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yakin data yang dimilikinya sudah valid dan dikelompokkan secara benar. "Memang tak semuanya anak perusahaan Grup Wilmar, namun beberapa diantara 27 perusahaan adalah pemasok," kata Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar, Walhi, Zenzi Suhadi kepada Tempo, Sabtu, 17 Oktober 2015.
Pernyataan itu menanggapi tuduhan yang disampaikan Grup Wilmar bahwa data Walhi tidak benar dan asal comot. Pada 1 Oktober 2015, Walhi merilis hasil investigasi soal jejak korporasi dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Tanah Air.
Ketika itu Walhi menyebut sebanyak 27 perusahaan Grup Wilmar berkontribusi besar atas terjadinya kebakaran hebat di empat provinsi (Jambi, Sumsel, Riau, dan Kalteng).
Sebagian besar titik api yang ditemukan Walhi berada dalam konsesi perusahaan (anak perusahaan dan penyuplainya), terutama hutan tanaman industri (HTI) sebanyak 5.669 titik api dan perkebunan kelapa sawit sebanyak 9.168 titik api.
Wilmar membantah investigasi Walhi dengan menggelar konferensi pers pada Jumat, 16 Oktober 2015. Corporate Secretary Wilmar Group, Johannes menyatakan bahwa data Walhi tidak jelas asalnya karena Wilmar mengaku hanya memiliki total 13 perusahaan crude palm oil (CPO) di Sumatera dan Kalimantan.
Ke-13 perusahaan itu, kata Johannes, tak pernah terkait dengan aksi pembakaran lahan. Perusahaan itu di Kalimantan Tengah ada 7 perusahaan, yaitu PT Kerry Sawit, Mustika Sembuluh, Bumi Sawit Kencana, Sarana Titian Permata, Mentaya Sawit Mas, Kurnia Kencana Permai Sejati, dan Rimba Harapan Sakti.
Di Sumatera Selatan ada 4 perusahaan perkebunan, yakni Agro Palindo Sakti, Buluh Cawang Plantation, Musi Banyuasin Indah, dan Tania Selatan. Terakhir di wilayah Riau, hanya ada 2 yaitu Murini Samsam dan PT Sinarsiak Dian Permai. Di Jambi mereka hanya memiliki pabrik kelapa sawit.
Johannes menjelaskan bahwa Wilmar memiliki kebijakan internal yang melarang keras pembakaran dan perusakan lahan dalam rangka pembukaan kebun.
Zenzi menjelaskan Wilmar sebagai pemain terbesar bisnis perkebunan kelapa sawit Indonesia seharusnya memiliki tanggung jawab menormalkan lahan terbakar yang disebabkan anak perusahaan dan perusahaan penyuplai.
"Bukan malah melepas klaim dan menyatakan diri tak terlibat,“ katanya. Kalau Wilmar ingin jadi perusahaan CPO yang bersih, ujarnya, seharusnya mereka memutuskan kontrak dengan perusahaan yang melakukan pembakaran lahan itu.
YOHANES PASKALIS