TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejak disahkannya Undang-Undang Keistimewaan pada 2012, keistimewaan Yogyakarta ternyata masih menyisakan masalah, terutama berkaitan dengan pertanahan. Dalam diskusi tentang urgensi pengaturan tanah kasultanan dan pakualaman, yang digelar pada Selasa, 1 September 2015, sejumlah elemen masyarakat menggugat kebijakan keraton dan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketua Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi Willy Sebastian menilai aturan pertanahan yang ada di Yogyakarta bersifat diskriminatif. Willy merujuk pada Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi.
Meski sudah mendapat peringatan keras dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pemerintah DIY masih mempertahankan aturan tersebut. Aturan yang dibuat dibuat Gubernur DIY kala itu, Pakualam VIII, membuat warga keturunan Tionghoa di DIY sampai sekarang tak bisa memiliki tanah dengan status hak milik dan merasa terus dinomorduakan.
Sebagai keturunan Tionghoa, ia merasa menjadi bagian dari kelompok yang masih terdiskriminasi atas kebijakan itu. Pihaknya pun telah mengadukan beleid diskrimiatif tersebut kepada Presiden Joko Widodo, Komnas HAM, dan Badan Pertanahan Nasional Pusat.
Komnas HAM pun sudah dua kali mengirim tuntutan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X agar segera mencabut aturan itu. BPN Pusat juga telah tiga kali menegur BPN DIY agar tak mengacu pada kebijakan tersebut, melainkan pada Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, terutama Diktum 4.
Aturan berbentuk instruksi kepala daerah tahun 1975 itu pun seharusnya otomatis gugur dengan landasan lebih kuat, di antaranya kebijakan Sultan HB IX yang mengeluarkan Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 1984, yang intinya menyebutkan, sejak DIY bergabung dengan NKRI, segala aturan pertanahan DIY akan mengacu pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Perwakilan masyarakat pesisir selatan Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, juga memprotes aturan pertanahan di DIY. Mereka meminta pemerintah DIY tak serta-merta menggunakan UU Keistimewaan untuk memonopoli pertanahan dengan status Sultan dan Pakualaman Ground. “Warga di pesisir Parangkusumo resah atas upaya penggusuran,” ujar Watin, perwakilan warga pesisir Parangkusumo.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Tavip Agus Riyanto menuturkan pemerintah DIY tak menutup mata atas persoalan tersebut. “Aspirasi soal diskriminasi tanah ini menjadi pekerjaan rumah panjang bagi pemerintah, dan DIY tetap bagian NKRI,” ujarnya.