'Perempuan Pembela HAM Dianggap Kurang Kerjaan'
Editor
LN Idayanie Yogya
Senin, 3 Agustus 2015 18:14 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pelanggaran hak asasi manusi (HAM) terhadap para pembela HAM di Yogyakarta, yang dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2014, menduduki urutan kedua.
Peringkat itu diduduki bersama empat provinsi lain, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Masing-masing tercatat dua korban dari total 22 orang korban. Peringkat pertamanya, dari Papua sebanyak lima korban.
“Jumlah itu baru sebagian kecil, karena tidak tercatat dengan baik,” kata Komisioner Komnas HAM Noor Laily, dalam diskusi publik Situasi Pembela HAM di DIY, di Hotel Harper Yogyakarta, Senin 3 Agustus 2015.
Keberadaan pembela HAM juga rentan berisiko sebagaimana korban HAM yang didampingi. Baik kekerasan fisik, psikis, verbal, hingga kriminalisasi dan melalui media sosial. “Perempuan pembela HAM menghadapi risiko lebih besar,” kata Noor.
Perempuan lebih rentan menjadi target kejahatan seksual, stigmatisasi seksual, eksploitasi identitas perempuan, juga pengerdilan kapasitas sebagai perempuan.
Noor mencontohkan, perempuan yang berperan sebagai pembela HAM, acapkali dinilai kurang kerjaan, karena lebih memilih mengurus pelanggaran HAM ketimbang rumah tangganya. “Saya pun pernah diancam akan diperkosa,” kata dia yang saat itu mengawal sidang penembakan empat tahanan di LP Sleman, pada 2013, yang dikenal dengan tragedi Cebongan.
Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Eko Riyadi, mempersoalkan peran polisi yang cenderung mendiamkan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Bahkan terkesan lebih memberikan pembelaan terhadap pelaku. Dia mencontohkan rencana pemutaran film “Senyap” atau The Look of Silence, karya sutradara Joshua Oppenheimer, akhir 2014 lalu di beberapa tempat di Yogyakarta, yang dibubarkan karena ancaman maupun kedatangan organisasi masyarakat.
Kasus yang menonjol dengan mengkriminalisasikan pembela HAM adalah kasus pembangunan Apartemen Uttara The Icon, di Sleman, yang menjeblokan aktivis lingkungan Aji Kusumo ke penjara, dan kasus persidangan tindak pidana korupsi Persiba Bantul, dengan melaporkan aktivis Indonesian Court Monitoring (ICM) kepada polisi.
Sementara itu, Kepala Bidang Hukum Kepolisan Daerah DIY, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) M. Marpaung, membantah bila dikatakan polisi tidak paham HAM.
Menurut dia, pengetahuan tentang HAM diberikan sejak polisi menjalani pendidikan. Bahkan saban apel pagi, polisi berbaris dan mengucapkan Sumpah dan Janji Polisi, Tribrata. “Tapi manusia punya sifat manusiawi pula. Bahkan polisi boleh melakukan kekerasan dalam kondisi genting,” kata dia.
PITO AGUSTIN RUDIANA