Presiden Joko Widodo (dua kiri depan) didampingi Wapres Jusuf Kalla (tiga kanan depan), Ketua KPK Abraham Samad (kiri depan), Wakapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti (kanan), Jaksa Agung H.M. Prasetyo (dua kanan), Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno (tiga kiri belakang), Mensesneg Pratikno (tiga kanan belakang), Seskab Andi Widjajanto (kiri belakang) dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan (dua kiri belakang) beri keterangan pers terkait kasus hukum Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Istana Bogor, Jabar, 23 Januari 2014. Jokowi meminta Polri dan KPK untuk memastikan proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo belum mengukuhkan tim independen untuk mengatasi ketegangan hubungan antara Polri dan KPK. Jokowi mengumpulkan tujuh pakar hukum dan tokoh masyarakat di Istana Negara pada Ahad malam, 25 Januari 2015. (Baca: Jagoan Hukum ke Istana, Jokowi Bikin Tim Khusus)
Seorang pakar yang hadir, Jimly Asshidique, mengatakan dalam pertemuan tersebut Jokowi hanya meminta masukan terkait dengan kisruh kedua lembaga tersebut yang terkenal dengan sebutan "Cicak Versus Buaya Jilid II". Menurut Jimly, pertemuan semalam sekadar berbincang. "Belum ada keputusan untuk membentuk tim," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang didapuk sebagai juru bicara para pakar ini saat dihubungi pada Senin, 26 Januari 2014. (Baca: Heboh KPK Vs Polri, Jokowi Diminta Carikan Pekerjaan)
Ia menuturkan para pakar yang dikumpulkan ini belum bisa disebut sebagai tim karena tidak memiliki landasan hukum. Dengan demikian, kata Jimly, belum ada rencana kerja seperti memanggil Kepala Polri atau pimpinan KPK.
"Tanpa surat pembentukan tim dari Presiden, kami tidak punya wewenang memanggil atau bertindak," katanya. Tim informal ini, menurut Jimly, juga belum bisa menyusun langkah nyata untuk menyelesaikan kisruh KPK dan Polri.
Selain Jimly yang ditunjuk sebagai juru bicara, enam tokoh lain adalah mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Wakil Kepala Polri Oegroseno, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, serta mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dan Syafii Maarif.
Serangan terhadap KPK juga terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Mabes Polri. SBY pada akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr Chandra M. Hamzah dan Sdr Bibit Samad Rianto yang disebut Tim 8.