RSUP Sardjito Belum Terima Instruksi Waspada Ebola
Editor
Maria Rita Hasugian
Minggu, 2 November 2014 15:08 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kementerian Kesehatan belum memberi instruksi kepada pengelola Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta, mengenai kewaspadaan penyebaran wabah ebola. Karena itu, walau ada dua terduga pasien ebola--di Madiun dan Kediri, Jawa Timur--status waspada ebola belum diberlakukan di RSUP Dr Sardjito. "Sampai sekarang belum ada instruksi dari Kementerian soal waspada ebola. Semoga memang tidak meluas," kata juru bicara RSUP Dr Sardjito, Trisno Heru Nugroho, Ahad, 2 November 2014.
Menurut Heru, instruksi ihwal kewaspadaan terhadap wabah penyakit terakhir dari Kementerian yang masih dijalankan oleh RSUP Dr Sardjito ialah menanggulangi penularan Middle East respitory syndrome coronavirus (MERS-CoV). Beberapa hari lalu, seorang anggota jemaah haji asal Bantul yang baru pulang dari Arab Saudi diduga tertular virus yang memunculkan gangguan pernapasan akut tersebut. "Kalau MERS-CoV, kami memang masih diminta mewaspadainya," katanya.(Baca:Kondisi Terduga Pasien Ebola di Kediri Membaik)
Ketua Jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sunarno, menilai strategi penanganan pemerintah terhadap kemunculan indikasi penularan ebola di Indonesia terkesan ceroboh. Sebab, isolasi ketat untuk menghindari kemungkinan penularan virus ebola hanya diberlakukan terhadap pasien tersebut. "Ukuran virus ebola 1-1,4 mikron, bisa hidup di udara sekitar lima jam, jadi mudah sekali menular lewat bersin, keringat, dan cairan lain dari pasien," kata Sunarno, akhir pekan ini.
Sebelumnya, pada 28 Oktober 2014, Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada meluncurkan kampanye waspada penyebaran ebola. Bersama Organisasi Radio Amatir Indonesia dan Palang Merah Indonesia Cabang Yogyakarta, mereka membuat simulasi pencegahan penyebaran ebola dengan acuan prosedur operasi standar dari WHO dan referensi dari Internet. Sunarno menginisiasi simulasi itu untuk mengkampanyekan pentingnya sosialisasi mengenai ebola kepada publik dan pembentukan prosedur operasi standar penanganan ebola yang sesuai dengan kondisi Indonesia. (Baca:Fakta-fakta Seputar Penyakit Ebola)
Berdasarkan prosedur standar yang dipublikasikan WHO, menurut Sunarno, semestinya isolasi juga diberlakukan bagi semua orang yang berada dalam satu perjalanan dengan pasien terduga ebola yang baru datang dari negara tempat penyakit itu mewabah. Meski tidak semuanya menunjukkan terindikasi tertular, perlu ada kewaspadaan dini.
Jika orang tersebut kembali ke Indonesia dengan pesawat umum, seluruh penumpang di pesawat yang sama harus ikut diisolasi untuk sementara waktu. Maksud isolasi ialah meminta mereka berdiam di rumah dulu dan membatasi kontak dengan orang lain. "Sambil diamati hingga tiga pekan ke depan, ada atau tidak gejala penularan virusnya," katanya. (Baca:Pemerintah Didesak Membuat Prosedur Standar Khusus Ebola)
<!--more-->
Sunarno menambahkan, pelacakan juga perlu dilakukan pada mereka yang menumpangi mobil bersama pasien tersebut dari bandara menuju rumahnya di Madiun. Mobil yang ditumpangi oleh pasien itu sepulang dari bandara juga perlu diisolasi untuk sementara waktu agar virus yang menempel mati sebelum mobil digunakan lagi oleh orang lain. "Perkembangan penularan virus ebola dua pangkat N, artinya satu pasien berpeluang menulari dua orang lainnya dan seterusnya," katanya.
Yang paling penting, menurut dia, seluruh anggota keluarga dan tetangga pasien itu juga diisolasi untuk sementara waktu di rumah masing-masing. Seluruh perawat dan dokter di rumah sakit juga harus menerapkan pengamanan standar saat berinteraksi dengan pasien itu.(Baca:Awas Ebola, Puluhan TKI Baru Pulang dari Liberia )
"Seperti memakai pakaian pelindung rapat dan sekali pakai lalu dimusnahkan serta melakukan mandi klorin seusai bekerja," kata pakar penanggulangan bencana itu. "Symptom (gejala) berupa badan panas, mual, pusing, dan lainnya perlu rutin diamati pada mereka."
Dia berpendapat, apabila pasien di Madiun dan Kediri benar-benar tertular ebola, Indonesia kebobolan akibat kecerobohan penanganan buruh migran yang pulang kampung setelah bekerja di kawasan hutan di Liberia itu. Karena itu, dia mendesak pemerintah segera memperluas jangkauan sosialisasi mengenai ebola kepada publik. "Bisa dilakukan tanpa membuat panik publik. Sebab, prinsipnya, hanya menjelaskan karakter virus ini dan cara membatasi semua kemungkinan penularannya," katanya.
Sunarno juga menyarankan pemerintah segera membentuk prosedur operasi standar yang diberlakukan secara nasional untuk menangani ebola dengan menuruti rekomendasi WHO dan konteks sosial-budaya di Indonesia. Misalnya, dia mencontohkan, ihwal ketentuan jenazah pasien ebola yang harus dibakar. "Bisa butuh fatwa MUI itu," katanya.(Baca:Empat Ciri Orang Tertular Ebola, Apa Saja? )
Prosedur WHO untuk wartawan peliput isu ini juga mendesak untuk dipraktekkan. Sunarno mengungkapkan hal itu setelah mengamati siaran televisi yang menampilkan gambar wartawan yang terlalu dekat dengan lokasi atau rumah pasien. "Pekerja pers harus hati-hati saat meliput kasus ini," katanya.
Sunarno berpendapat, pemerintah lebih baik mengeluarkan dana besar untuk aktivitas pencegahan penyebaran ebola. Sebab, apabila penularan sudah tidak terkendali atau banyak orang terjangkit, beban pemerintah bakal lebih besar. "Pencegahan hanya habis miliaran rupiah. Tapi, kalau sudah menular, biayanya akan mencapai triliunan rupiah," ujar Sunarno.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Baca juga:
Raden Nuh @TrioMacan2000 Bos Perusahaan Media
PPP Djan Faridz Merapat ke Koalisi Prabowo
Raden Nuh Ditangkap, Polisi Sita Empat Ponsel
Derby Manchester, Seberapa Besar Peluang MU?