Sejumlah Anggota DPR PDI P menyampaikan protes kepada pimpinan sidang sementara dalam Sidang Pemilihan Pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 2 Oktober 2014. Fraksi Hanura, Nasdem dan PKB juga melakukan walkout. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan demokrasi Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Kemunduran demokrasi Indonesia disebabkan antara lain adanya keinginan sebagian politikus di Senayan mengubah mekanisme pilkada langsung menjadi pilkada oleh DPRD. Keinginan itu terwadahi dengan disahkannya UU Pilkada melalui DPRD, yang didukung oleh partai-partai koalisi pro-Prabowo Subianto.
"Kemunduran juga disebabkan faktor lainnya," kata Haris dalam diskusi politik "Selamatkan Demokrasi Indonesia" di LIPI, Jakarta Selatan, Jumat, 10 Oktober 2014. (Baca: Ilmuwan LIPI: Argumentasi Koalisi Prabowo Dangkal)
Ada juga munculnya wacana pemilihan presiden selanjutnya akan dipilih oleh MPR. "Padahal, pilkada dan pilpres langsung merupakan prestasi demokrasi Indonesia," ujar Haris. (Baca: Cari Dalang UU Pilkada, SBY Diminta Introspeksi)
Menurut Haris, apabila ternyata pemilihan kepala daerah dan presiden dilakukan oleh DPRD dan MPR, maka hal ini jelas bertentangan dengan tujuan reformasi 1998. "Jelas mengkhianati reformasi," kata Haris, "Sebab, tujuan reformasi adalah untuk mengembalikan kedaulatan rakyat yang saat itu diambil oleh rezim Orde Baru."
Pengamat politik LIPI Ikrar Nusa Bakti mengatakan esensi demokrasi adalah rakyat ikut serta dalam menentukan kebijakan terkait dengan negara dan bangsanya. "Rakyat berhak memilih siapa calon pemimpinnya secara langsung," ujar Ikrar.
Menurut Ikrar, rakyat lebih baik menentukan kebijakan dibandingkan dengan para anggota di Senayan. "Karena itu, demokrasi untuk pilkada dan pilpres langsung harus tetap dipertahankan," kata Ikrar.