Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan. TEMPO/Ratih Purnama
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan, mengatakan dukungan pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah aksi cuci tangan partai politik. Ade mengatakan yang patut dipersalahkan terkait dengan buruknya pemilihan kepala daerah adalah partai.
Partai politik yang selama ini mempraktekkan perilaku korupsi, baik saat proses rekrutmen calon legislator, kepala daerah, maupun penggalangan dukungan kepada masyarakat. "Eh, sekarang mereka menyalahkan pemilih," ujar Ade dalam diskusi di kantor ICW pada Senin, 15 September 2014.
Sebelumnya, partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendukung aturan pemilihan umum kepala daerah oleh DPRD dimasukkan dalam Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah. Mereka menuding pemilihan secara langsung yang dilakukan selama ini boros, membuat konflik sosial, dan sarat politik uang.
Menurut Ade, politik uang yang terjadi justru dicontohkan oleh partai. Partai politik tak segan mengeluarkan biaya tinggi untuk menggalang dukungan, baik ke partai lain maupun ke masyarakat.
Ade mencontohkan kasus Nazaruddin, terpidana korupsi wisma atlet sekaligus mantan Bendahara Partai Demokrat yang menjadi "mesin ATM" partai. Kala itu, Nazaruddin adalah anggota Badan Anggaran DPR.
Direktur Koalisi Masyarakat Pemantau Legislatif Syamsudin Alimsyah berpendapat, partai harus introspeksi diri dengan membenahi manajemen ketimbang menyalahkan kondisi masyarakat. Ade lebih takut pada pilkada oleh DPRD yang berisi kader parpol bermanajemen buruk. "Di periode sekarang, ada 43 anggota DPRD yang terkait dengan kasus korupsi. Bagaimana kami bisa mempercayai mereka?" tutur Syamsudin dalam diskusi.