Massa dari Partai Kebangkitan Bangsa mengibar-ngibarkan bendara partai saat kampanye Rhoma Irama di kawasan Cipedak, Jakarta, Sabtu (29/3). TEMPO/Gunawan Wicaksono
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana perubahan sistem pemilihan kepala daerah menuai penolakan dari fraksi partai pendukung presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka terus bergerilya menggalang dukungan dari sejumlah partai penyokong Koalisi Merah Putih.
"Kami masih terus melobi sejumlah anggota fraksi. Kami optimistis bisa mengembalikan ke pola lama," kata anggota Fraksi Partai kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, ketika dihubungi Tempo, 8 September 2014.
Abdul menjelaskan komunikasi politik terus dibangun guna menyamakan persepsi tentang dampak perubahan sistem pemilihan kepala daerah. Sebab, kata dia, sistem itu mereduksi makna demokrasi dan mengenyampingkan partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka. Model itu pun hanya akan memunculkan kartel politik di antara anggota Dewan. “Hak rakyat diamputasi dan yang terjadi adalah politik oligarki,” katanya. (Baca:Jokowi: RUU Pilkada Potong Kedaulatan Rakyat).
Selain PKB, kata dia, komunikasi politik juga terus dijalin oleh partai lain yang menolak perubahan sistem pemilihan langsung, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Hati Nurani Rakyat. Tugas itu tak semata dibebankan kepada para kader yang ditugaskan sebagai tim perumus dan panitia kerja, melainkan juga para pimpinan. "Yang di atas kerja, di bawah juga kerja. Kami yakin sikap mereka bisa berubah," ujarnya.
Perubahan sistem pemilihan kepala daerah tengah dibahas antara pemerintah dengan DPR. Sebagian besar fraksi mendukung perubahan itu karena sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini diklaim membebani anggaran negara, memancing konflik antarmasyarakat, dan menciptakan miskoordinasi antara kepala daerah tingkat I dan II. Sikap mereka berseberangan dengan fraksi pendukung pemerintah terpilih. (Baca: RUUPilkada Kemunduran Demokrasi)
Abdul mengakui sistem yang berlaku saat ini berdampak pada beban anggaran negara yang tidak kecil. Meski demikian, biaya itu hal yang wajar dalam setiap penyelenggaraan proses demokrasi. Dampak tersebut bisa diminimalisir dengan cara melaksanakan pemilu kepala daerah serentak dengan pemilu presiden dan legislatif. "Dengan cara itu, kita bisa menghemat 30 persen dari total anggaran pemilu," katanya.