Para aktivis melakukan aksi damai memperingati Hari Toleransi Internasional di Jakarta, Sabtu (16/11). Mereka menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati segala perbedaaan, menghindari tindak kekerasan dan menghapus segala bentuk kecurigaan dan kebencian. ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Yoeke Indra Agung Laksana menilai peristiwa kekerasan yang terjadi di DIY telah mencapai tahap kritis. “Karena (DIY) tidak punya budaya seperti Jakarta,” katanya usai salat Jumat di gedung DPRD DIY, Jumat, 30 Mei 2014.
Sepanjang dua tahun terakhir, kasus kekerasan di Yogyakarta terus meningkat. Ironisnya, aparat penegak hukum cenderung mendiamkan saja. Tak ada pelaku yang ditangkap dan dihadapkan ke peradilan.
Kasus kekerasan terakhir terjadi pada Kamis, 29 Mei 2014 kemarin. Sekelompok orang bergamis menyerang Jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng, Sleman, yang sedang menggelar kebaktian di rumah Julius Felicianus di Desa Sukoharjo, Kecamatan Sleman. Di rumah Direktur Galang Press itu, massa menyerang dengan menggunakan senjata tajam. “(Kejadian seperti ini) jangan hanya didiamkan saja,” katanya mengomentari kasus penyerangan itu.
Ia meminta Kepolisian mengusut tuntas kasus itu dan menangkap para pelaku penyerangan. “Ada aduan atau tidak, polisi harus pro-aktif,” ujarnya. Jika peristiwa semacam itu terus dibiarkan, ia khawatir peristiwa yang sama akan terus terulang di kemudian hari. “Kalau didiamkan (kekerasan) akan semakin tak terkontrol.”