TEMPO.CO, Jakarta - Panglima TNI Moeldoko membantah telah menyampaikan permintaan maaf atas penamaan KRI Usman Harun kepada pemerintah Singapura. Moeldoko membantah materi wawancara dengan media televisi Singapura, Channel NewsAsia, adalah permintaan maaf karena Indonesia menjadikan pelaku pemboman McDonald House pada 10 Maret 1965 sebagai pahlawan dan nama kapal perang.
Kata "maaf" tersebut, kata Moeldoko, lebih sebagai ungkapan bahwa Indonesia sudah final atau tak akan berubah perihal penyematan nama Usman Harun pada kapal perang yang dibeli dari Inggris tersebut. "Tak ada itu mohon maaf," kata Moeldoko. (Baca: KRI Usman-Harun Bakal Berlayar di Indonesia Timur)
Wawancara Moeldoko ini mendapat kritik dari guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Sikap Moeldoko, menurut Hikmawanto, memberi gambaran seolah Indonesia tunduk pada kemarahan Singapura.
Hikmahanto memaparkan ada dua tafsir atas permintaan maaf Moeldoko. Pertama, tafsiran seolah atas nama Indonesia, Moeldoko meminta maaf kepada Singapura. Kata "maaf" ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "regret" yang memiliki implikasi diplomatik.
Sedangkan interpretasi kedua adalah kata maaf yang biasa digunakan masyarakat Indonesia bila hendak berbicara keras. Masyarakat biasanya akan mendahuluinya dengan kata "maaf" yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "pardon me".
Menurut Hikmahanto, kata "mohon maaf" Moeldoko diterjemahkan Channel NewsAsia sebagai 'regret' alias penyesalan. Di Indonesia, publik diduga akan resah seolah Indonesia menyerah ke Singapura.
"Panglima TNI harus melakukan klarifikasi atas pernyataan 'mohon maaf'nya sehingga publik di Indonesia tidak merasa dikhianati," kata Hikmahanto.