Sejumlah orang berupaya mendobrak pintu Sasana Narendra Keraton Kasunanan Surakarta, Solo, (26/8). Mereka berupaya membubarkan acara Halal Bihalal yang diselenggarakan oleh Paku Buwana XIII. Tempo/Ahmad Rafiq
TEMPO.CO, Solo - Salah satu kerabat keraton dari kubu dewan adat, KP Eddy Wirabhumi mengakui bahwa pihaknya memang mengerahkan kelompok silat ke dalam keraton. Menurutnya, kelompok tersebut dimintai bantuan untuk pengamanan keraton.
Belakangan, warga di sekitar keraton merasa tidak nyaman dengan kehadiran kelompok tersebut. Bentrok nyaris terjadi pada Senin malam 26 Agustus 2013. Polisi serta militer segera mengevakuasi kelompok silat itu untuk mencegah terjadinya bentrok.
"Kami merasa perlu untuk menyelenggarakan pengamanan dengan melibatkan perguruan Setia Hati Terate," kata Wirabhumi. Menurutnya, sebagian abdi dalem keraton berasal dari perguruan silat itu. Wirabhumi sendiri juga mengaku sebagi sesepuh Setia Hati Terate.
Menurut Wirabhumi, dewan adat merasa perlu untuk melakukan pengamanan untuk menghindari kejadian seperti sembilan tahun silam. Saat itu, salah satu kubu dalam keraton yang berkonflik mendobrak pintu keraton dengan menabrakkan sepeda motor.
"Meski kami melakukan pengamanan, ternyata mereka masih mengulangi lagi perbuatannya," katanya. Pada Senin malam, pintu keraton yang mengarah ke Sasana Putra kembali didobrak dengan mobil jenis Hardtop.
Pendobrakan itu dilakukan oleh kubu Paku Buwana XIII. Mereka khawatir akan keselamatan raja yang ada di dalam keraton dengan adanya kelompok silat tersebut. Kubu PB XIII menyatakan bahwa dewan adat sengaja mengunci semua akses menuju Sasana Putra.
Kejadian tersebut membuat konflik internal dalam keraton semakin meruncing. Beberapa saat sebelumnya juga terjadi pembubaran acara milik PB XIII yang dilakukan oleh dewan adat.
Terjadi sejak 2004, Begini Awal Sejarah Konflik Keraton Surakarta
27 Desember 2022
Terjadi sejak 2004, Begini Awal Sejarah Konflik Keraton Surakarta
Sejarah awal konflik internal Keraton Surakarta akibat perebutan tahta raja antara Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan sepeninggal Raja Paku Buwono XII pada 12 Juni 2004.