TEMPO.CO, Jakarta - Konflik Keraton Surakarta sampai sekarang seolah tak berujung. Hampir setiap tahun selalu muncul berita tentang konflik internal antara dua kubu di keraton yang sudah ada sejak 1745 masehi itu.
Disadur dari buku Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat (2004), sejarah awal konflik internal Keraton Surakarta akibat perebutan tahta raja antara Hangabehi dan Tedjowulan (raja kembar). Keduanya sama-sama mengklaim sebagai pengganti Raja Paku Buwono XII (PB XII) yang meninggal pada 12 Juni 2004 setelah berkuasa selama 59 tahun.
Dalam tradisi kerajaan Jawa, pengganti raja yang meninggal berasal dari anak laki-laki tertua dari permaisuri. Sementara mendiang Paku Buwono XII tidak mengangkat seorang permaisuri. Berawal dari inilah konflik perebutan tahta Keraton Surakarta antara Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan yang lahir dari ibu yang berbeda ini dimulai.
KGPH Hangabehi mengklaim berhak mewarisi tahta Keraton Surakarta karena mengaku menerima surat wasiat absah dari Raja PB XII. Proses penyerahan surat wasiat itu terjadi sebelum raja meninggal pada Kamis, 3 Juni 2004, saat tetirah di Tawangmangu.
Menindaklanjuti keabsahan surat wasiat tersebut, Kapolwil Surakarta saat itu, Kombes H. Abdul Madjid, mengatakan, hasil uji laboratorium forensik Polda Jawa Tengah terhadap cap jempol Paku Buwono XII yang ditulis KP Edi Wirabumi identik dengan sidik jari PB XII.
Merespons hasil tersebut, pihak KGPH Tedjowulan mempertanyakan dan mempermasalahkan keabsahan Surat Wasiat Tawangmangu tersebut. Tedjowulan menilai, surat wasiat tersebut janggal. Karena itu, dia meminta aparat kepolisian untuk memeriksa ulang keaslian surat wasiat tersebut.
Menurut penasehat hukum PB XIII Tedjowulan, Hari Susilo, sebagaimana lazimnya surat wasiat, wasiat Tawangmangu itu seharusnya diketahui oleh semua putra-putri Sinuhun PB XII yang berjumlah 35 orang.
“Tapi kenyataannya hanya diketahui oleh segelintir putra-putri PB XII dari pihak KGPH Hangabehi. Karena tidak diketahui oleh semua ahli waris, maka wasiat Tawangmangu itu tidak sah,’’ ujar Hari, Kamis, 18 November 2004.
Menurut Hari, dalam surat wasiat itu sama sekali tidak ada klausul yang menegaskan penunjukkan Hangabehi sebagai pengganti PB XII. Padahal, jika seseorang yang hendak meninggal dunia akan mewasiatkan sesuatu, maka itu harus diumumkan secara terbuka kepada seluruh ahli warisnya. “Jadi, semua ahli waris harus tahu secara resmi dan terbuka,” katanya.
Puncaknya pada Agustus 2004, kubu Tedjowulan mengukuhkan perwira TNI AD tersebut sebagai PB XIII. Penobatan Tedjowulan dilakukan di Ndalem Sasana Purnama, Kota Barat Mangkubumen. Lokasinya berada sekitar enam kilometer dari kompleks Keraton Surakarta.
Alasan pengukuhan dilakukan di luar keraton lantaran pada hari yang sama Kubu KGPH Hangabehi menggembok pintu gerbang keraton. Pun sebulan kemudian melakukan tindakan sama yaitu melantik KGPH Hangabehi juga sebagai PB XII. Adanya pelantikan KGPH Hangabehi dan Tedjowulan dalam waktu dan tempat yang berbeda menyebabkan adanya anggapan adanya raja kembar di Surakarta.
Daftar panjang konflik antara raja kembar itu masih berlanjut hingga sampai sekarang. Terbaru, pada Jumat, 23 Desember 2022, sekitar pukul 21.00 WIB, kedua kubu saling bentrok. Dari insiden tersebut, dua orang cucu Pakubuwono XIII diduga mengalami penganiayaan, yakni Bendara Raden Mas (BRM) Yudhistira dan BRM Soeryo Mulyo.
HARIS SETYAWAN
Baca juga: Konflik Keraton Surakarta, Putra Mahkota Angkat Bicara Soal Konflik Internal