Suasana belajar-mengajar di sekolah darurat Kartini dikawasan Kampung Bandan, Jakarta Utara, (21/7). Penggusuran sekolah Kartini disebabkan akan diaktifkan kembali jalur kereta yang menghubungkan Stasiun Tanjung Priok dan Stasiun Kota oleh PT Kereta Api Indonesia. Tempo/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta--Berdiri di lahan seluas 119 meter persegi Sekolah Darurat Kartini tak lebih dari sebuah gubuk di sebuah kawasan padat penduduk yang ada di Jalan Lodan Raya, Pademangan, Jakarta Utara. Sekolah ini didirikan oleh dua bersaudara kembar Sri Rossianti dan Sri Irianingsih pada tahun 1990.
"Total lulusan yang kami didik sampai sekarang ada 6.000-an," kata Iri pada Senin,26 November 2012.? "Ironisnya kami tidak pernah mendapat izin dari Dinas Pendidikan."
Hal inilah, lanjut dia, yang menyebabkan sekolah tersebut mengalami lima kali penggusuran. "Dari awalnya di tanah yang sekarang jadi Mall of Indonesia pada 1990 sampai terakhir di Lodan pada 2006," katanya.
Sekolah yang terdiri dari PAUD hingga SMA ini menurut dia digarap secara swadaya, tenaga pengajarnya selain dua saudara kembar ini kadang dari luar yaitu para pegiat sosial. Untuk kurikulumnya lanjut dia mengikuti apa yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan.
Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ini menuturkan untuk ujian nasional masih gabung dengan sekolah lain. "Kami bayar tingkat SD Rp 600.000,- per anak dan SMP-SMA Rp 900.000,- per anak," ujar dia. "Duitnya punya kami pribadi."
Ros menambahkan dengan mengikutkan ujian nasional di sekolah lain maka mereka tetap memperoleh ijazah yang bisa digunakan untuk mendaftar kerja atau keperluan lainnya. Saat ini Ros dan Iri mengajar 600 siswa dari tingkat PAUD-SMA, jam sekolahnya sendiri dari pukul 06.30 WIB hingga 13.30 WIB.