TEMPO.CO, Jakarta - Meski berseberangan dengan Soekarno, almarhum budayawan Umar Kayam bersedia memerankan tokoh Presiden RI pertama itu di film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Kayam memiliki alasan untuk menerima peran itu.
Menurut artikel majalah Tempo edisi 5 Mei 2002 bertajuk Sang Dirjen, di Belakang dan di Muka Layar, Kayam menerima peran itu karena sutradara film itu, Arifin C. Noer, adalah kawan dekatnya.
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta (dan Yogyakarta). Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.
Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.
Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan 1966-1969, Kayam membolehkan kembali film barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film barat masuk ke Indonesia.
Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini juga rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.
Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhir pada 16 Maret 2002.