Penyidik pidana khusus Kejaksaan Jawa Timur sebenarnya telah menetapkan beberapa orang tersangka dalam perkara ini. "Namun demi kepentingan penyidikan, nama-namanya untuk sementara kami simpan dulu," kata Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Mohamad Anwar, Jumat (2/7).
Menurut Anwar, kasus itu bermula pada musim giling 2005. Ketika itu Pabrik Gula Gempolkerep yang berada di bawah naungan PTPN X telah memproduksi tetes tebu rakyat melalui sistem bagi hasil dengan petani tebu. Sebelum musim giling itu berlangsung, para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) telah lebih dulu melakukan perjanjian jual beli tetes dengan perusahaan asal Singapura, Breadley Overseas Trading Co.
Setelah produksi tetes berjalan, ternyata tidak semua petani tebu setuju nenjual tetesnya ke Breadley Overseas Trading Co. Sebagian petani menjual sendiri tetes tebunya ke PT Djolondoro melalui Koperasi Unit Desa Dewi Sartika. "Akibat pecahnya sikap petani tebu, jumlah taksasi tetes yang telah dijanjikan APTR kepada Breadley Overseas Trading Co menjadi berkurang," ujar Anwar.
Untuk menutupi kekurangan itu, kata Anwar, APTR mengambil tetes dari Pabrik Gula Gempolkerep atau PTPN X sebanyak 5.566.397 kilogram dengan harga Rp 520 per kilogramnya. Dengan demikian total harga seluruhnya sebesar Rp 2.894.526.440. "Padahal menurut tata niaga tetes PTPN, penjualan tetes harus dilakukan melalui pelelangan dengan harga yang dicapai pada saat pelelangan tersebut," tutur Anwar.
Pada Agustus 2005 harga tetes lelang PTPN mencapai Rp 647 per kilogramnya. Dengan demikian penjualan tetes PTPN X kepada APTR tanpa melalui mekanisme lelang itu telah menyebabkan harga yang dicapai tidak sesuai dengan harga tetes lelang. "Di situ munculnya kerugian negara, karena seharusnya PTPN X memperoleh penerimaan lebih banyak, yakni sebesar Rp 713.315.939," ujar Anwar.
KUKUH S WIBOWO