TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menilai pengawasan yang diusung Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tepat. Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), tidak semua pejabat dan lembaga negara dapat diselidiki melalui hak angket.
“Undang-Undang MD3 memang menyebut pejabat negara sebagai subyek angket, setiap pejabat negara bisa diangket. Tapi, meski ada begitu, tidak semua pejabat negara bisa diselidiki melalui angket,” katanya saat rapat dengar pendapat dengan Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 18 Juli 2017.
KPK, kata dia, adalah lembaga negara yang bisa diawasi dengan tidak menggulirkan hak angket oleh Dewan. “Kalau mengawasi KPK bukan dengan angket meski dia pejabat negara,” ujarnya. Pengawasan terhadap KPK dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa lembaga lain, seperti Badan Pemeriksa Keuangan jika terindikasi ada pelanggaran yang dilakukan KPK.
Begitu pula jika pejabat KPK melakukan tindak pidana dengan melibatkan beberapa lembaga, seperti kejaksaan dan kepolisian hingga pengadilan. “Sudah ada buktinya. Dulu, pegawai KPK di Bandung masuk penjara. Bibit Samad dan Chandra pernah ditahan setelah proses hukum,” ucapnya.
Pria yang juga Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara itu menegaskan hak angket oleh Dewan hanya dapat menyasar pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan. "Dalam konsep ini, saya ingin mengatakan KPK itu bukan pemerintah," tuturnya.
Ia berpendapat KPK menjalankan fungsi yudikatif yang memiliki kekuasaan kehakiman. "Sangat salah jika KPK dikatakan koasi eksekutif. Kalau mau dikoasi, KPK itu koasi yudisial," katanya.
Ia merujuk juga pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahfud menjelaskan, Pasal 38 ayat 2 menyebut penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait dengan kekuasaan kehakiman. "Enggak ada satu pun tugas di KPK yang bersifat kepemerintahan," ujarnya.
ARKHELAUS W.