TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu duduk bersama untuk kembali membahas masalah hak angket.
Haedar mengatakan keduanya, bersama dengan kelompok masyarakat, perlu mengurai poin-poin pentingnya. Di satu sisi, DPR tidak boleh melakukan tindakan yang melemahkan KPK. Sementara itu, Haedar mengatakan KPK juga perlu mendengarkan masukan dari pihak lain.
Haedar juga menilai langkah pemerintah untuk melakukan mediasi sangat dibutuhkan agar masalah tersebut tidak menjadi liar dan membesar tanpa solusi. "Bila perlu, Presiden menginisiasi titik temu," katanya saat ditemui di Masjid Akbar Kemayoran, Jakarta, Ahad, 9 Juli 2017.
Masalah antara KPK dan DPR muncul setelah kasus korupsi KTP elektronik mencuat. Sejumlah anggota DPR diduga terlibat. Situasi memanas karena anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani, membeberkan penerima dana korupsi.
Selama pemeriksaan, Miryam mengaku ditekan oleh sejumlah anggota DPR untuk tidak mengungkapkan pelaku korupsi. Berdasarkan keterangan Penyidik KPK Novel Baswedan, Miryam mengaku ditekan Aziz Syamsuddin, Desmond Junaidi Mahesa, Masinton Pasaribu, Sarifuddin Sudding, dan Bambang Soesatyo. Namun Miryam kemudian mencabut keterangannya. Dia mengaku ditekan penyidik KPK saat diperiksa.
Keterangan Miryam yang menyatakan dirinya ditekan anggota DPR membuat sejumlah anggota DPR meminta KPK membuka rekaman penyidikan. Mereka menggunakan hak angket dan membentuk panitia khusus. Salah satu kegiatan pansus adalah menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin untuk mencari tahu proses penyidikan yang dilakukan KPK.
Pembentukan pansus memicu penolakan di masyarakat. Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan Komplek Parlemen menolak hak angket. Mereka meminta pansus berhenti melemahkan KPK. Sejumlah tokoh ulama pun menyatakan dukungannya kepada KPK karena menilai DPR ingin melemahkan KPK.
VINDRY FLORENTIN