TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang mengatakan lembaganya menolak memasukkan tindak pidana korupsi dalam revisi KUHP. Namun ia akan mempertimbangkan usul pemerintah tersebut.
"Kalau dari KPK, kami bicara soal extraordinary crime. Dia harus keluar dari KUHP. Itu pendapat kami yang lain dan belum berubah," ucap Saut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 22 Mei 2017.
Saut mengakui, adanya kekhawatiran pembahasan tindak pidana korupsi dalam KUHP bisa melemahkan Undang-Undang KPK. "Jaminannya apa agar tak terjadi pelemahan?" ujar Saut. Menurut Saut, pemberantasan korupsi harus mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, dan efek jera.
Baca: Jaksa Agung Khawatir KUHP Bikin Korupsi Tak Istimewa Lagi
Ia pun berpendapat agar ada perbaikan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memperkuat pemberantasan korupsi. "UU Pemberantasan Tipikor saja diperbaiki dulu," tutur Saut.
Setelah diperbaiki, barulah ada pembahasan atas usul memasukkan Konvensi Antikorupsi PBB, memperdagangkan pengaruh, dan korupsi sektor swasta. Ia berkukuh tindak pidana korupsi tak dimasukkan dalam KUHP. "Produknya kalau mau efisien itu harus dikeluarkan dari KUHP," katanya.
Hari ini, Panitia Kerja KUHP membahas revisi KUHP. Namun pembahasannya ditunda. Ketua Panitia Kerja KUHP Benny K. Harman menyatakan penundaan dilakukan lantaran tak terpenuhinya kuorum anggota Panja.
Baca: Mengapa KPK Kukuh Tolak RUU KUHP?
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih berujar, pemerintah telah menyelesaikan rancangan untuk mengatur pola tindak pidana khusus, seperti narkotik dan korupsi. Ia menjamin pola yang diatur untuk memperkuat lembaga.
"Ini satu kesempatan kita mengatur secara komprehensif dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi," ucap Enny. Rencananya, pembahasan revisi KUHP akan dilanjutkan pada Rabu, 24 Mei 2017.
ARKHELAUS W.