TEMPO.CO, Bojonegoro - Bekas aktivis Afghanistan dan Moro, Ali Fauzi, 46 tahun, mengatakan pelaku pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene masih amatiran. Ali menilai gaya pemikiran pelaku condong pada gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Semangatnya boleh, tapi kemampuannya nol,” ujarnya kepada Tempo, Minggu, 13 November 2016.
Ali mengatakan pelaku bom Gereja Oikumene tidak berkaitan dengan kelompok pendemo Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurutnya, mereka antidemokrasi dan antidemonstrasi. Bahkan faham dan gaya pemikirannya mengarah ke ISIS.
Selain itu, lanjut Ali, pelaku pelemparan bom tidak berpengalaman, dari mulai survei lokasi yang hendak dibom dan perencanaan yang lemah. Akibatnya, pengeboman jadi tidak teratur. “Ini parah,” imbuh pria yang kini aktif berkeliling ceramah tentang radikalisasi di pelbagai tempat.
Ali mengatakan tidak habis pikir karena pelaku dikejar-kejar massa seperti pencuri ayam. Padahal, jika pelaku cerdas dan berpengalaman, cukup menggunakan pengatur waktu. Sebab, akan aman, rapi, sulit terdeteksi.
Bom yang dilemparkan, lanjut Ali, kerap disebut dengan istilah bom sabun karena bukan bom sungguhan, atau sering diistilahkan sebagai bom molotov. Bahkan kualitas rakitannya sangat jelek jika dibanding bom yang pernah diajarkan sejumlah kawan-kawannya di Ambon, Poso, dan Moro, Filipina. “Jauh kualitasnya dengan bom rancangan saya,” ujarnya.
Seperti diketahui bahwa ledakan bom molotov di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, terjadi sekitar pukul 10.10 WITA. Sebagian jemaat masih di dalam gereja melaksanakan ibadah, sedangkan beberapa di antaranya berada di area parkir kendaraan. Tiba-tiba ada seorang pria tidak dikenal mengenakan kaus dan celana hitam melemparkan bom molotov. Bom itu langsung meledak dan melukai sejumlah korban yang masih anak-anak.
SUJATMIKO