TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan Kementerian Hukum dan HAM seharusnya menggunakan istilah pemberian kembali kewarganegaraan untuk Arcandra Tahar, bukan pengukuhan. Ada perbedaan besar mengenai dampak pemilihan istilah itu. "Beda tipis, tapi dampaknya luar biasa," kata Refly dalam diseminasi kewarganegaraan di kantor Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Rabu, 14 September 2016.
Refly mengatakan jika yang digunakan adalah pengukuhan atau peneguhan, maka seolah-olah Arcandra tidak pernah kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Padahal secara substansi, Arcanda pernah kehilangan kewarganegaraan Indonesia saat menjadi warga negara Amerika. Proses itu dilakukan Arcandra atas kehendaknya sendiri, telah disumpah dan telah memiliki paspor Amerika.
Dengan pengukuhan kewarganegaraan, jika suatu saat Arcandra ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, hal itu bisa dilakukan. Berbeda dengan pemberian kembali kewarganegaraan Indonesia, seseorang tidak lagi berhak mencalonkan diri karena pernah menjadi warga negara lain. "Bagi saya, dia pernah jadi warga negara lain atas kehendaknya sendiri. Sehingga kalau jadi capres atau cawapres tidak memenuhi syarat," kata Refly.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku pengukuhan kewarganegaraan Arcandra dilakukan dengan pertimbangan matang. Menurut dia, jika pilihannya adalah pemberian kembali kewarganegaraan, maka hal tersebut perlu waktu lama, yakni Arcandra harus lima tahun berturut-turut berada di Indonesia. Di sisi lain, status Arcandra saat itu tanpa kewarganegaraan.
Yasonna menjelaskan, dalam pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, disebutkan pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajiban sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh kembali kewarganegaraan, dipidana penjara paling lama 1 tahun. Dan bila disengaja dipidana paling lama 3 tahun. "Jika saya sebagai Menkum HAM meneruskan proses kehilangan kewarganegaraan atas nama Arcandra Tahar, saya berpotensi melanggar pasal itu, saya dapat dipidana."
Karena itulah, setelah memeriksa dan mengklarifikasi kepada Arcandra, serta pertimbangan asas perlindungan maksimum dan asas tidak mengenal kewarganegaraan, maka Arcandra dinyatakan tetap sebagai WNI melalui pengukuhan. Ini dilakukan setelah Kemenkum HAM menerbitkan surat Keputusan Menkum HAM pada 1 September 2016 lalu.
Yasonna mengatakan, pertimbangan lain dalam kasus Arcandra adalah Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya. Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
AMIRULLAH