TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan kementeriannya telah menggagalkan ekspor ikan hiu paus atau Rhincodon typus dari Maluku ke Cina. Praktek ilegal itu melibatkan seseorang yang mengaku sebagai anggota Satuan Tugas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Mengakunya orang Satgas, tapi bukan," kata Susi di kantornya, Jumat, 27 Mei 2016.
Menurut Susi, dia tidak akan memberi ampun kepada siapa pun yang terlibat dalam penjualan hiu paus tersebut. Begitu pun apabila nanti ditemukan ada pegawai atau pejabat Kementerian yang terlibat. "Tetap salah. No excuse, mau direktur jenderal, direktur, atau anggota Satgas, akan ditangkap," ujar Susi.
Sehari sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan dua ikan hiu paus sepanjang 4 meter dalam keadaan hidup di keramba jaring apung milik PT Air Biru Maluku di Pulau Kasumba, Seram Bagian Barat, Maluku. PT Air Biru Maluku adalah perusahaan milik Hendrik, warga negara Cina yang tinggal di Singapura.
Saat ini, tim yang terdiri atas Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Ambon serta Labuan Lombok dan Polisi Air Polda Maluku itu tengah memeriksa dua orang saksi yang ditangkap dalam operasi kemarin. Dua orang saksi itu adalah Soim, penunggu dan pemberi makan ikan di keramba, dan Amrin, anak dari Opan, penangkap ikan hiu paus tersebut.
Susi mengatakan, berdasarkan kesaksian Soim, ikan hiu paus ini sudah berada di keramba sejak Februari lalu. "Ikan ditangkap oleh Opan menggunakan alat tangkap purse seine di perairan sekitar 10 mil ke arah barat Pulau Kasumba," ujar Susi.
Soim juga mengungkapkan, selain dimiliki oleh Hendrik, keramba jaring apung itu dimiliki oleh Darto, pengusaha budi daya ikan. "Pengurusnya adalah penegak hukum yang mengaku sebagai anggota Satgas 115 dan saudara Riko dari Jakarta," kata Susi.
Pelaku yang mengaku sebagai anggota Satgas itu, menurut Susi, menyatakan kedua ikan merupakan bagian dari pertukaran G to G antara pemerintah Indonesia dan Cina. "Pengakuan dia, ada kerja sama G to G. Tapi, mau apa pun alasannya, kita punya undang-undang. Tidak bisa menghalalkan alasan apa pun," ujarnya.
Susi mengatakan para pelaku diduga telah melanggar Pasal 16 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. "Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, dan atau lingkungan sumber daya ikan," ujarnya.
Apabila para pelaku terbukti bersalah, kata Susi, mereka akan dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar. "Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 18 Tahun 2013, ikan hiu paus adalah spesies yang dilindungi penuh, kecuali untuk kegiatan penelitian dan pengembangan," tutur Susi.
ANGELINA ANJAR SAWITRI