TEMPO.CO, Magelang - Kesakralan menyusup di Candi Borobudur menjelang matahari terbit. Sebagian Bhiku berbaris di depan, mengenakan topi merah berbentuk mirip jambul. Mereka ada yang meniup terompet dan kerang. Di belakangnya, para bhiku juga ada yang membawa bunga teratai dari kertas berisi cahaya lilin. Bhiku dari sejumlah negara itu datang dari sejumlah negara, yang memutari Candi Borobudur.
Mereka melakukan ritual pradaksina, memutari candi sebanyak tiga kali searah jarum jam. Ritual ini dilakukan usai detik-detik Waisak 2560 BE tahun 2016, Ahad dini hari, 22 Mei 2016. Ratusan umat Buddha berjalan di belakang bikhu untuk mengikuti pradaksina beriring lagu Buddhist berjudul Buddhang Saranang Gacchami. Pradaksina ditutup dengan meletakkan bunga teratai dari kertas di pinggir candi.
Bhiku Buddha Tibet, Lopon Tamding menuturkan pradaksina dilakukan untuk mengelilingi relief-relief dan stupa candi yang punya arti kebajikan yang tinggi. Khususnya di bulan suci Waisak, apa yang umat lakukan satu kali mendapatkan kebijaksanaan berlipat kali. “Pradaksina punya arti bila dalam ritual ada kesalahan, maka kiranya kesalahan itu bisa disucikan,” kata Bhiksu Lopon seusai ritual pradaksina di Candi Borobudur.
Menurut bikhu yang kini tinggal di India ini, pradaksina punya manfaat bagi umat yang merasa melakukan ritual ibadah kurang sempurna bisa melakukan pradaksina. Dalam kepercayaan umat Buddha, mengelilingi candi yang di dalamnya ada relief-relief dan stupa telah dijelaskan dalam kitab suci Tripitaka. Memutari candi sebanyak tiga kali putaran searah jarum jam punya arti Buddha-Dharma-Sangha atau ajaran dari Sang Buddha.
Sebelum ritual pradaksina, ribuan umat Buddha yang datang dari berbagai daerah mengikuti serangkaian ritual detik-detik Waisak di depan altar sebelah barat candi. Detik-detik Waisak berlangsung pukul 04.14. Serangkaian ritual detik-detik Waisak di antaranya pbhiku dari berbagai sangha atau aliran dalam agama Buddha juga merapal doa.
Rapal mantra terdengar hikmat seiring bunyi alat musik, yang di antaranya kental dengan suara musik Buddhist mirip di Jepang dan Tibet. Inilah suasana yang menggambarkan penerimaan pada aliran-aliran dalam agama Buddha yang beragam. Ada pula meditasi, dipimpin Bhikkhu Wongsin Labhiko Mahatera.
Umat Buddha pada perayaan Waisak tahun ini menekankan pada penghormatan terhadap perbedaan. Kepala Vihara Mendut, Bhiku Sri Pannyavaro Mahathera menyampaikan pesan pada Dharma Santi Waisak di Taman Candi Borobudur, Sabtu malam, 21 Mei 2016.
Bhiku Sri Pannyavaro menyebut pujangga besar Empu Tantular yang menerjemahkan moral cinta kasih dengan Bhineka Tunggal Ika. Dalam lontar Sutasoma dikenal Siwa Buddha Bhineka Tunggal Ika. Pada zaman Kerajaan Majapahit ada dua agama yang berbeda, Siwa dan Buddha. Keduanya beda tapi terap tunggal. Hakikat kebenaran itu tunggal.
Apa yang disampaikan Empu Tantular, ucap Sri Pannyavaro, menggambarkan pentingnya perekat kebersamaan di semua lini kehidupan bangsa. Ada keindahan, kebersamaan yang tercermin pada kehidupan beragama dan segenap umat Buddha. "Tidak mungkin melebur jadi satu, tapi bagaimana menghormati dan menerima dengan tulus. Kemanusiaan adalah universal," kata Sri Pannyavaro.
Menurut dia, dunia diwarnai berbagai macam perbedaan dan perbedaan itu sering saling menghancurkan merupakan keniscayaan alami. Bhiku menyampaikan bahwa saat purnama sempurna dari candi agung, umat Buddha ingin berikan pesan moral Bhineka Tunggal Ika ke dunia.
SHINTA MAHARANI