TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bahrain menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto tidak memiliki urgensi. Selain itu, penetapan tersebut bakal menciptakan polemik di masyarakat.
"Kalau Soeharto mau jadi pahlawan nasional, Sukarno saja belum. Kalau kita bilang Sukarno pahlawan proklamasi, dia belum disebut sebagai pahlawan nasional. Jadi apa sih urgensinya kita menyebut Soeharto sebagai pahlawan nasional?" kata Bahrain berargumen saat ditemui di depan Istana Negara, Jakarta, Sabtu, 21 Mei 2016.
Bahkan ia berargumen bahwa Tan Malaka perlu dijadikan pahlawan nasional. Sebabnya, pemikirannya dituangkan Sukarno dan Hatta untuk membangun bangsa menjelang kemerdekaan. "Seharusnya pahlawan yang membangun bangsa semua harus diselesaikan menjadi pahlawan nasional," ucapnya.
Selain itu, Bahrain berpendapat, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan terjegal dengan adanya perdebatan soal penanggung jawab peristiwa 1965. Kebenaran sejarah, ujar dia, perlu diungkap dulu. "Sekarang, jangankan diungkap kebenarannya, disebut-sebut saja ditangkap," tuturnya.
Ia menilai tidak ada urgensi menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Selain mengungkap kebenaran sejarah, kata dia, pemerintah perlu membuat kriteria pasti tentang pahlawan dan disertai masukan masyarakat. "Paling tidak diselesaikan dulu sampai mana yang menjadi tanggung jawab negara. Jangan sampai menjadi beban sejarah," katanya.
Wacana pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional mengemuka dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golongan Karya beberapa waktu lalau. Sidang paripurna memerintahkan pengurus terpilih memperjuangkan nama Soeharto masuk daftar pahlawan nasional. Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie menilai Soeharto berperan besar dalam pembangunan. Ketua Umum Golkar Setya Novanto sependapat. Menurut dia, mantan presiden berhak berada di tempat terbaik.
ARKHELAUS W.