TEMPO.CO, Brebes - Syahzada Arsa, 11 tahun, tak kuasa menahan air mata saat membacakan surat yang ditulisnya sendiri. Surat dengan tulisan tangan itu rencananya dikirim ke Istana Negara untuk Presiden Joko Widodo. Seusai mengikuti ujian nasional, siswa kelas VI SD Negeri 5 Sawojajar, Kecamatan Wanasari, ini pergi ke Kantor Pos Brebes untuk mengirim surat tersebut. “Kenapa abah saya ditangkap, ayah saya kan hanya cari ikan di laut. Kenapa polisi menangkap abah,” ucap anak berusia 11 tahun ini.
Dalam surat tersebut, Arsa mengungkapkan kesedihannya selama ditinggal oleh sang ayah, Makmur, 39 tahun. Dia mengaku tidak bisa berkonsentrasi saat mengerjakan soal-soal ujian nasional karena terus teringat ayahanda. “Saya sering melihat ibu menangis karena memikirkan ayah. Pak Jokowi tolong abah saya agar bisa bebas,” pintanya. Dia berharap, ayahnya bisa segera pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga.
Ajeng Silmi, anak nelayan lainnya, Ginda Purnama, 40 tahun, juga mengungkapkan kerinduannya kepada sang ayah. Dalam surat yang ditulisnya di selembar kertas, dia menuturkan kepada Presiden Jokowi bahwa dirinya sudah hampir lima bulan tidak bertemu dengan ayahnya. Padahal sebelumnya setiap sebulan sekali ayahnya selalu pulang. “Biasanya kalau pulang kasih uang ke ibu, saya, dan adik. Uang itu untuk makan dan bayar sekolah. Sekarang sudah tidak kirim uang,” ujar Ajeng dengan mata berkaca-kaca.
Air mata Ajeng lalu tumpah ketika mengungkapkan kekesalannya kepada pihak penegak hukum di Palembang yang menangkap dan mengadili ayahnya. “Ayahku kan hanya menangkap ikan di laut. Sedangkan laut itu kan milik Allah, kenapa ayah ditangkap,” kata dia. “Kata ibu, ayah dipenjara 1 tahun 8 bulan. Lama sekali enggak ketemu bapak. Lebaran ini enggak bisa ketemu bapak. Terus katanya bapak didenda 2 miliar (Rp 2 miliar). Banyak sekali nolnya ada sembilan. Terus kapalnya juga mau dihancurin, kayak yang di TV-TV itu… Dibom di tengah laut. Kalau kapal hancur, terus nanti ayah kerja apa,” tulis Ajeng dengan nada polos.
Makmur dan Ginda merupakan dua dari 13 nelayan yang ditangkap dan dipenjara di Palembang, Sumatera Selatan, 4 Februari 2016. Mereka dianggap merusak alam karena menggunakan alat tangkap jenis pukat harimau. Mereka juga dianggap melanggar batas wilayah. Di pengadilan tingkat pertama di PN Palembang, ke-13 nelayan tersebut divonis 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 2 miliar.
Tak terima atas vonis tersebut, mereka mengajukan banding. Namun di Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan banding mereka ditolak. Kini mereka sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). “Besok (hari ini), kasasi kami daftarkan ke MA,” kata Rudi Hartono, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Brebes, yang selama ini mendampingi nelayan.
MUHAMMAD IRSYAM FAIZ