TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan kaget atas jumlah korban yang diutarakan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965/1966). YPKP menyebut total korban pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 mencapai jutaan orang.
"Saya tergelitik dengan jumlah korban yang disebut-sebut sampai 500 ribu orang, bahkan lebih. Korbannya tak sebanyak itu," katanya seusai membuka Simposium Nasional bertajuk 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Senin, 18 April 2016.
Menurut Luhut, akan ada sikap pro dan kontra dalam simposium yang dilaksanakan atas inisiatif penyelesaian berbagai isu pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Sikap pro dan kontra itu terkait dengan pelaksanaan serta berbagai pendapat yang diungkap. "Tapi saya, 68 tahun, dengan kapasitas sebagai Menkopolhukam, akan mengatur agar simposium ini berjalan terang," tuturnya.
Luhut menjelaskan, pemerintah memiliki kepentingan untuk menuntaskan isu pelanggaran HAM yang terjadi, termasuk merumuskan kronologi peristiwa yang terjadi di masa lampau. "Ada penyesalan memang, untuk apa yang terjadi saat itu. Kami juga akan mendengar masukan yang muncul dalam simposium ini.”
Letnan Jenderal (Purn) TNI Sintong Pandjaitan juga menampik banyaknya jumlah korban yang disebut-sebut jatuh dalam operasi militer di Jawa Tengah tak lama seusai peristiwa Gerakan 30 September 1965. "Kalau disebut ada korban hingga ratusan ribu, itu pembohongan," ujar Sintong.
Sintong menyatakan, tudingan terkait jumlah korban yang jatuh dalam operasi militer yang digelar Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dalam mengejar pihak yang terlibat aksi Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak tepat. “Kebohongan itu mencoreng harga diri kami sebagai RPKAD," ujar Sintong yang dalam operasi itu menjabat Komandan Pleton.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo, dalam sambutannya, menyampaikan, simposium yang dilaksanakan selama dua hari pada 18-19 April 2016, akan memberi ruang bagi semua pihak yang hadir untuk berbicara. "Ini bukan pengadilan. Sederhananya seperti memutar film tentang 1965 dan melihat apa yang terjadi, soal penyalahgunaan kewenangan, dan sebagainya," ujar Agus.
Simposium ini dihadiri sekitar 200 peserta yang terdiri atas akademisi, korban pelanggaran HAM berat, wakil partai politik, organisasi masyarakat, dan lembaga masyarakat yang berkecimpung di bidang HAM. Kegiatan ini merupakan yang pertama yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia.
YOHANES PASKALIS