TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalah di Pengadilan Negeri, lima pedagang kaki lima (PKL) di lahan kekancingan (lahan milik Keraton Yogyakarta) mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Sebelumnya, penggugat, Eka Aryawan, juga mengajukan banding. "Penggugat sudah menang di tingkat pertama. Tapi malah mengajukan banding," kata Kuasa hukum lima pedagang Ikhwan Sapta Nugraha di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Rabu 30 Maret 2016.
Upaya banding penggugat ke Pengadilan Tinggi untuk memaksa pedagang kaki lima itu mengosongkan lahan seluas 28 meter persegi sebagai bagian dari 73 meter persegi yang merupakan hak pakai Eka di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta. Eka mengklaim memegang surat Kekancingan untuk lahan itu.
Di dalam memori banding penggugat juga masih meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 30 juta per tahun selama 2011 hingga 2015. Penggugat juga tetap meminta ganti rugi immateriil sebesar Rp 1 miliar. Bahkan jika pedagang kaki lima itu menolak pindah dari lahan itu, maka akan diminta uang paksa sebesar Rp 1 juta per hari.
Padahal, menurut Kepala Divisi Ekonomi Sosial Budaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Budi Hermawan, surat perjanjian kekancingan milik Eka tak pernah dibuktikan kebenarannya dalam persidangan tingkat pertama. Karena pihak yang menandatangani surat kekancingan, Panitikismo Kraton Yogyakarta, tidak pernah dihadirkan di persidangan. "Di persidangan pihak yang mengeluarkan surat kekancingan tidak pernah dihadirkan, itu untuk membuktikan keaslian surat," kata dia.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan Eka Aryawan terhadap lima orang pedagang kaki lima (PKL) yang harus membayar Rp 1,12 miliar. Tapi majelis hakim mengabulkan tuntutan supaya lima pedagang itu pindah dari lahan itu.
Menurut pengacara penggugat, Oncan Poerba, upaya banding itu agar gugatan kliennya semua dikabulkan Pengadilan Tinggi. "Supaya Pengadilan Tinggi mengabulkan seluruh gugatan," ujarnya. Oncan mengatakan, pedagang kaki lima itu melanggar hukum dengan menguasai lahan yang bukan hak mereka. "Kalau bukan haknya, ya silakan pergi."
MUH SYAIFULLAH