TEMPO.CO, Surabaya - Dua pejabat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur hanya bisa tertunduk mendengar tuntutan hukuman penjara selama 8,5 tahun plus denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Keduanya juga masih harus mengembalikan uang masing-masing Rp 2,4 miliar dan Rp 2,3 miliar.
Kedua terdakwa itu adalah Kepala Sekretariat Amru dan bendahara Gatot Sugeng Widodo. Jaksa menuding keduanya menggunakan dana hibah yang diterima Bawaslu senilai Rp 142 miliar dalam Pemilihan Gubernur 2013 secara menyimpang atau tidak sesuai dengan peruntukan. Belanja yang dilakukan dengan dana itu juga tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya dalam pengadaan barang.
“Keduanya terbukti secara sah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi,” kata Jaksa Penuntut Umum Agung Pribadi, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sidoarjo, Senin petang, 22 Februari 2016.
Bersama Amru dan Gatot, dua rekanan Bawaslu, yakni Indriyono dan Ahmad Khusaini, juga menerima tuntutan hukuman yang sama. Bedanya, Indriyono hanya diminta mengembalikan dana sebesar Rp 713 juta, sedangkan Ahmad Khuasaini tidak dikenai beban uang pengganti.
Dalam kasus yang sama ikut dijerat pula tiga anggota Bawaslu, termasuk ketuanya. Namun pemeriksaan terhadap ketiganya sempat ditunda karena adanya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak.
Sebelum persidangan di mulai, Senin, 22 Februari 2016, Amru mengaku menjadi korban kriminalisasi. “Substansi yang sebenarnya dari pemeriksaan di Polda sampai sekarang belum terungkap,” katanya.
Menurut Amru, tidak tepat jika jaksa mengaudit kerugian negara dengan hanya mengacu hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Alasannya, dia dua kali dimintai klarifikasi oleh lembaga itu, tapi sangkaan kerugian negara sekitar Rp 5,6 miliar tidak pernah diungkap secara utuh.
Dia juga menilai janggal BPKP yang mengaudit dana asal APBN—bukan hanya yang berasal dari APBD—sehingga dana terkesan membengkak. “Seperti uang saku rapat peserta, seharusnya tidak ada,” ujar Amru.
Kasus korupsi atas penggunaan dana hibah senilai total Rp 142 miliar itu didakwakan terjadi dalam Pemilihan Gubernur 2013. Kasus berawal dari laporan Samudji Hendrik Susilo, mantan pejabat pengadaan barang dan jasa di Sekretariat Badan Pengawas Pemilu Jawa Timur, ke Kepolisian Daerah jawa Timur.
Jika 80 persen dari total dana tersebut digunakan untuk membayar honor komisioner dan petugas pengawas lapangan (PPL) di 38 kabupaten atau kota, seharusnya ada sisa dana Silpa sebesar Rp 5 miliar. Namun, saat dilakukan pemeriksaan pada September 2014, disebutkan Bawaslu hanya menyetor Rp 2,4 miliar. Kerugian negara akibat korupsi ini sebesar Rp 5,6 miliar.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH